Pergulatan di Kurusetra

 

Dalam perjalanan hidup ini agar bisa kembali dengan selamat, bahagia, cengengas-cengenges, tenteram, dan segala rasa kesyahduan lainnya kala sampai kepada bos besar pemilik seluruh saham kehidupan ini tak lain adalah dengan sifat ndelosor atas beragam dentuman-dentuman ketakjuban diri kepada Gusti

Jalan menuju ketakjuban adalah ilmu dan pengetahuan yang dirasakan, dihayati, diinternalisasikan di dalam diri dan diimplementasikan dalam hidup. Tak lain juga sebuah rasa yang dihidup-hidupi dan dihidupkan dalam setiap embus napas pun langkah kala menjalani kehidupan ini.
*

Di samping gubuk tua bernama kehidupan, gemintang kali ini nampak menyeringai di balik ketiak-ketiak ranting pohon kemuning yang mulai mengering. Sedang rembulan sedari tadi terus berjuang menyeberangi bibir cangkir kopi menuju pusara genang kopiku. Bola mata yang seringkali menjebakku memahami kebenaran -hanya sebatas dari yang mewujud- ini pun merekam dengan gamblang atas perjalanannya sedari sebelum lahirnya niat meramu bubuk kopi dengan sedikit gula yang kuleburkan bersama dengan didih air mata kehidupan yang selalu berusaha merangkak untuk singgah di atas amben-amben kesunyian yang disimpuhi para pejalan. Amben adalah guru kehidupan yang tidak menggurui, pun tak pernah terlupakan. 

Lagi dan lagi, dalam simpuhku di bawah rindang kamboja yang ditanam Wareng, setiap seruputan kopi hitam yang kutuangakan di lepek selalu mengalirkan buih-buih kenangan, prasangka-prasangka, dan kegelisahan-kegelisahan atas pagelaran bharatayudha yang digelar di kurusetra yang terbentang luas di dalam kepala pun di balik dada. Setiap embus napas kala diri memandang, merasakan, mengeja, berprasangka, melangkah, sadar tidak sadar diri pun sedang berada di dalam peperangan bharathayudha. Kedalaman, keluasan, kesadaran diri merupakan penentu dalam peperangan tersebut.

Bharatayudha bukan sebatas peperangan fisik ataupun perebutan materiil dan kekuasaan. Bharathayuda adalah peperangan energi positif dan negatif yang tak lain merupakan sekuens-sekuens peristiwa dari sebuah perjalanan panjang untuk menghadirkan keselarasan kosmik yang berbuah estetika di dalam kehidupan.

Sedang di dalam kehidupan ini tak ada yang lebih indah daripada keindahan-keindahan yang selalu diperjuangkan dan disemai terus-menerus untuk keindahan hidup itu sendiri. Terlebih keindahan itu adalah suatu ekosistem tumbuh kembangnya ilmu dan implementasi atas ilmu itu sendiri. Sederhananya, mengilmui segala sesuatu dengan ilmu untuk menghasilkan ilmu-ilmu baru yang menjadi bibit keindahan-keindahan di hari mendatang.

Aku kembali seruput kopi hitamku. Sialnya, bersama tegukan itu kepalaku bergemuruh oleh lengking pertanyaan yang berhamburan. Ia seringkali menghampiri tanpa dipanggil, datang meski tak sedang diharapkan, dan terkadang susah dicari keberadaannya kala dibutuhkan. Entah, ini malam diriku sedang dilakonkan dalam naskah yang bagaimana. 

Di ruang sunyi yang jauh dari gerak-gerik manusia seperti sekarang ini, mungkin Gusti sedang memberikan isyarat agar diri mengobrol dan berdiskusi dengan diri sendiri. Mungkin juga diberikan simbolisme untuk berjalan menyusuri lorong-lorong werit di dalam diri yang jarang atau bahkan tak pernah disambangi. Di mana ruang tersebut adalah ruang yang akan mengantarkan diri menuju diri sejati. Diri yang lebih peka dengan suara nurani pun getaran-getaran energi dari sumber energi itu sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi ketika mulai duduk di ruang ini makin tak beraturan, menggema, bergemuruh, sesak di kepala. "Bukankah adanya pendidikan yang diri peroleh seharusnya diri menjadi lunglai tak berdaya atas ketakjuban dari segala bentuk keagungan Gusti yang gumelar di jagad raya ini? Bukankah makin banyak manusia yang memiliki gelar kesarjanaan seharusnya makin banyak pula manusia-manusia yang sujana dan waskita. Bukankah dengan gelar itu seharusnya menjadikan diri hidup penuh dengan kelapangan atas keseluruhan lalu mentanahkan diri dan tak henti memohon diberikan kesadaran dan kekuatan mengeja apa yang gumelar di jagad ini? Jika sudah mendapat gelar sarjana namun hidupnya tidak sujana dalam memperlakukan apa yang digelar di jagad raya ini, bukankah sangat perlu untuk memeriksa kembali kelayakan dan kepantasan atas kesarjanaan yang disemayamkan di dalam diri kita?" 

Suara itu menggebu-gebu, layaknya sebuah bentakan atas sesuatu yang sudah lama terpendam dan baru menemukan ruang pelampiasan.

Kepalaku pun makin riuh. Aku kepayahan. Sialan. Aku kembali menyeruput kopiku dan mencoba ingin sejenak berdiskusi agar tidak terlalu sembrono. Namun, belum sempat melantunkan sebiji kata, pertanyaan-pertanyaan lain kembali digemakan oleh pikiran. 

"Apa gunanaya bejibun instansi pendidikan jika banyak produk yang pada akhirnya banyak yang memilih memikul penghambaan terhadap keinginan, keegoisan, dan napsu-napsu keserakahan? Lihat berita! Bukankah puncak hidup itu ketika diri menjadi hamba yang menghamba, pelayan yang melayani yang lahir dari kesadaran atas nikmat dari setiap gelombang energi yang diadakan, dihadirkan, diantarkan, dan digerakkan oleh energi maha energi, energi semesta? Bukankah semakin terdidiknya seseorang sepantasnya menjadikan orang tersebut memiliki kesadaran kealamsemestaan? Sudahkah diri kita memiliki kesadaran kealamsemestaan? 

Pernahkah diri kita kembali berpikir tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah kita hanya mengakui keberadaan Tuhan ataukah diri kita selalu belajar mensifati sifat-sifatnya, menjalani segala ajaran-ajaran kebenaran darinya? Diri kita bukankah berasal darinya dan akan kembali padanya? Jika iya, kenapa dalam bentang ruang itu terkadang diri menuhankan kesombongan? Bukankah diri harus menjadi hamba yang terus belajar atas segala keagungan-Nya yang digelar di jagad raya ini? Bukankah kita juga harus menjadi pelayan untuk kehidupan yang luas ini? Namun, kenapa diri seringkali terjebak pada kecongkakak, kesombongan, dan kesempitan dalam memandang apapun? 

Sekali lagi, apa gunanya engkau jadi sarjana jika engkau hanya hidup untuk dirimu sendiri seringkali terjebak dalam buasnya egoisme, napsu, keserakahan, dan keinginan-keinginan tendensius untuk keselamatan dirimu sendiri dan sekelilingmu. Bukankah kita harus terus-menerus belajar dan berjuang untuk menghadirkan keselamatan-keselamatan kepada siapapun, apapun, dan kapanpun?"

SIALAN! Kepala makin tak beraturan! Pertanyaan-pertanyaan itu menggema tanpa aturan di dalam kepalaku. Riuh!

Aku pun memutuskan diam sejenak. Kembali kuseruput kopi hitam sembari mencoba menata diri agar siap menerima serangan pertanyaan-pertanyaan dari pikiran. Beberapa menit pun berlalu, tetapi pikiran memilih diam. Ia kembali membisu. Aku memutuskan hari ini belajar mengeja suasana dan melantunkan apa yang kucerna kepada diriku sendiri.

Perlahan bisik-bisik lain pun menyambangi gendang telingaku. Tuturnya, diri dihimpun dalam waktu yang lumayan panjang dan dibelenggu gelombang kematian manusia pun berlayar di samudera kebingungan, maka menyunyilah. Apakah sejatinya diri sedang diperjalankan ke dalam sebuah gelombang perenungan panjang untuk mentadaburi berbagai hubungan. Bagaimana hubungan diri dengan diri sendiri, orang lain, binatang, tanah, udara, air, rumput, pepohonan, dan hubungan diri kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Tentunya diri dengan sang pencipta dan kekasih-kekasih-Nya. Bentang ruang ini tak lain adalah ruang penyemaian diri sendiri agar di kemudian hari bisa tumbuh dengan apik dan menghasilkan buah-buah segar.

Ruang itu tak lain juga sebuah tamparan di mana terkadang diri karena mendapatkan legitimasi menjadi manusia yang merupakan makhluk paling sempurna lantas diri merasa sudah menjadi manusia yang beres. Diri seringkali lalai jika diri harus belajar menjadi manusia. Jalannya tak lain menjadi manusia yang pembelajar. Pembelajar atas keseluruhan, terlebih kehidupan.

Pembelajar bukan berarti harus selalu di bangku pendidikan. Bukan. Semesta dan segala kehidupannya ini tak lain merupakan ruang belajar yang jauh lebih lengkap kurikulumnya, terlebih kurikulum kemanusiaan yang mengajarkan diri menjadi manusia yang insani. Belajar ilmu kehidupan bukanlah hal mudah pun singkat. Agar bisa sampai pada kepandaian dan kecerdasan dalam ilmu kehidupan butuh perjalanan panjang yang mungkin bisa saja tanpa ujung. Materinya pun tak ada habisnya, mau tidak mau harus terus mempelajari dan menelusuri. Sedang kepandaian akademis mungkin bisa dipelajari dengan waktu yang relatif lebih singkat untuk memahami teori-teori yang ingin digeluti.

Terkadang, jika diri hanya berbekal akademis semata tanpa menghidupkan intuisi pun jiwa penghambaan, diri akan terjebak di ruang keakuan. Ruang keakuan adalah ruang kemacetan, bahkan bisa jadi ruang kematian. Alhasil, diri hanya akan menjadi bangkai berjalan. 

Aku kembali seruput kopiku yang sudah jauh meninggalkan bibir cangkirnya. Sialnya aku dibawa ke dalam sebuah bayang-bayang yang aku sendiri tak kuasa membayangkannya lebih jauh. Bayang itu tak lain bayang atas kebodohan yang seringkali tak kusadari. Terlebih, ketika aku terjebak dalam rumah keakuan atas perjalanan pendidikan yang menjadikanku seolah merasa tahu. Sedang di sisi lain yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah kesadaran atas ketidaktahuan, ketakpahaman, dan limitasi akal pikiran diri dalam memahami sesuatu.

Bagaimana aku akan mengetahui cahaya jika aku sendiri seringkali tanpa sadar melahirkan kegelapan di dalam diriku sendiri. Sedangkan kata leluhur, ilmu adalah cahaya untuk menerangi semesta. 

Aku memainkan cangkir kopiku, sembari memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang hadir menghantam. Tetiba, kepala kembali berbisik lirih, tak terlalu bergemuruh seperti tadi.

"Bagaimana engkau akan menjadi manusia, jika engkau tak mengenal manusia. Bagaimana engkau akan menjadi manusia, jika dirimu sudah merasa puas dengan apa yang engkau ketahui hari ini. Bagaimana engkau akan menjadi manusia, jika engkau tak mencari cahaya. Bagaimana engkau akan sampai pada ruang cahaya, jika engkau sendiri tak mengamalkan cahayamu untuk menerangi sekelilingmu. Bagaimana engkau akan menemukan cahaya yang lebih terang, jika engkau sudah merasa puas dengan cahaya yang kau miliki hari ini."

Aku pun memutuskan diam dan bersimpuh mendengarkan perkataan-perkataan yang dilantunkan pikiran dan yang lahir dari bisik yang entah dari mana muasalnya.

Malam ini, bersama secangkir kopi hitam dengan sedikit gula, aku mendapatkan banyak hal yang sulit diterjemahkan. Aku hanya mampu menyimpulkan, bahwa hidup ini adalah ruang menyemai cinta, kasih sayang, penghambaan, pengabdian atas keseluruhan. Sebanyak apapun ilmu dan pengalaman jikalau tidak dirawat pun akan layu, lalu mati. Jika ia tidak disiramkan kepada tanaman-tanaman lain, ia pun akan hilang bersama langkah waktu. Di mana diri kita tak pernah memiliki kuasa sedikit pun atas waktu. 

"Alasan apa yang pantas menjadikan diri sombong atas segala yang diri rasa sudah diri ketahui. Sedangkan ketika diri merasa tahu saat itu pula sejatinya diri sedang dalam ketidaktahuan itu sendiri." 

Kalimat itu kulantunkan kepada diriku sendiri untuk sejenak memungkasi ibadah ngopiku, malam ini.

Ditulis oleh  Pemulung Rasa.
Laki-laki kelahiran Magelang 
yang tengah berjuang menggelandang 
dan memulung rasa di jalan sunyi.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

4 comments

  1. Kegelisahan tentang banyaknya manusia dengan gelar sarjananya namun sulit sekali ditemui manusia yang semakin sujana. Terlihat sederhana, namun di masa kini hal itu seringkali tak disadari. Entah karena manusia hanya mengejar ilmu atau gelar sebagai kompetisi untuk menyamakan derajat atau bahkan kekuasaan. Ilmu? Ah siapa di zaman sekarang yang benar-benar mendalami ilmu yang diperolehnya. Apalagi mengamalkannya untuk sekitar, sehingga istilahnya bisa urip sing urup. Atau hidup yang bisa menjadi cahaya bagi sekitar. Yaa begitulah sekilas komentar terbatas dariku. Mengenai tulisan Pemulung Rasa yang sangatttt sangatt luas bentangannya... Terimakasih karena masih dan selalu menuliskan hal-hal yang mungkin semakin terabaikan.
    1. Terima kasih, sudah singgah di Salik.id, Kak. Semoga nanti Kak Pemulung Rasa membuka kembali salik dan tahu ada yang bersilaturahmi di tulisannya.
    2. Terimakasih kembali Salik.id telah menciptakan ruang penuh perenungan.
    3. Matur nuwun Mba Rekno sudah pinarak di tulisan,

      Benar sekali, terlebih di era kebingungan dan kematian manusia seperti sekarang, kita akan kesulitan mencari orang yang punya ilmu dan ngelmu. Banyak ketidakseimbangan. Mirisnya, ilmu seringkali dijadikan komoditas untuk kepentingan pribadi, golongan, dan kepentingan tertentu. Alhasil cahaya yang dicari-cari dan diharap-harapkan pun menjadi redup dan kita menjadi kesulitan dalam memandang.

      Salam Literasi!