Mengapa Profesi Guru Dianggap Tidak Keren, Setidaknya Oleh Mahasiswa Keguruan Itu Sendiri | Muhamad Yaskur



Guru, sebuah profesi yang terus melekat dalam pribadi setiap orang yang menggelutinya. Bisa dikatakan, tak ada kata pensiun bagi sosok guru, meski dalam sistem negara ini ada yang namanya pensiun. Secara umum, di negara ini masih berhamburan perspektif bahwa guru sudah tidak menjadi guru lagi atau melepas gelar profesinya sebagai guru ketika sudah habis masa jabatannya atau sudah tidak bekerja lagi menjadi guru di suatu instansi pendidikan.

Kita lupa, bahwa guru tetaplah guru. Tidak ada eks atau bekas atau mantan guru. Sekali lagi, guru tetaplah guru. Ia Abadi. 

Guru bukanlah profesi yang semu. Ia merupakan bagian dari sumber segala sumber yang menjadikan adanya benih yang menumbuhkan beragam hal di marcapada ini.

Profesi satu ini rasa-rasanya memang tak bisa terlepas dari seseorang yang menggelutinya. Bagaimana tidak, di dalam dan di luar sekolah pun sering dipanggil dengan guru, meski ada embel-embel mas, mbak, pak, bu, mbah, dan sebagainya. Ketika berada di lingkup civitas academica atau sekolah, biasanya peserta didik, kang parkir, satpam, ibu kantin, rekan sejawat menggunakan sapaan pak guru, bu guru, mas guru, mbak guru, dan itu tentu sangat wajar dan lumrah karena memang di habitatnya.

Hal yang kadang membuat berpikir panjang (bagi si pelaku dan pemikir) yakni ketika selepas melaksanakan amanah mengajar dan berada di luar gerbang sekolah namun masih sering dipanggil guru oleh sekeliling. Bahkan, di masyarakat pedesaan yang masih lekat dengan unggah-ungguh, ikhtiar panjang nguwongke uwong, sosok guru yang sudah pensiun masih menyandang gelar guru, ada yang disebut pak guru, bu guru, dan ada pula yang disebut mbah guru.

Misalnya, saat ngopi bersama kawan lama atau bertemu kawan di sebuah acara resepsi mantan, seringkali ada yang menyapa, “Eh pak guru, apa kabar?” Kala sedang kumpulan RT atau pemuda, seringkali ada yang nyeletuk, “Wes, ayo pak guru, mau usul-usul apa, atau nanggepi usulan-usulan tadi sekiranya bagaimana?” 

Kala duduk-duduk di cakruk usai asyar sembari menikmati senja, harmoni ranting dan dedaunan bergesekan, suara tonggeret dan kicau burung, dan menunggu azan magrib berkumandang bersama tetua-tetua, seringkali ada yang nyeletuk, “Mbah guru, monggo sesnya (rokoknya),” sembari mengulurkan rokok samsu. Meski tahu kaklau beliau tidak suka samsu tapi sebagai wahana menghargai, basa-basi, atau apalah-apalah yang menjadikan nuansa lebih merona.

Untung mereka manggilnya ada embel-embel pak atau bu –meski dasarnya kami belum rabi apalagi punya momongan,- dan Mbah meski belum memiliki cucu karena anak-anaknya belum rabi. Bayangkan kalau tidak ada embel-embel itu, kan nuansanya seperti Sun Go Kong manggil Tom Sang Cong.

Kelekatan profesi guru di tengah masyarakat tentu saja bukan tanpa alasan. Jika merunut lebih jauh, pada era kolonial, guru bukan hanya sebuah profesi, tetapi juga mereperesentasikan sebuah kedudukan sosial alias kelas sosial. Era dulu ada penguasa, kaum priyayi, dan wong cilik. 

Guru dianggap sebagai seseorang yang berkedudukan tinggi dan terhormat. Bisa dikatakan guru merupakan bagian dari kaum priyayi. Hal tersebut bukan karena sebatas memiliki jabatan, tetapi karena beliau-beliau merupakan sosok yang mau dan ikhlas nggulowenthah atau mendidik anak-anak dan atau masyarakat.

Dalam kebudayaan hidup masyarakat Jawa, ada sebuah petuah yang mengatakan bahwa guru itu akronim dari kata digugu lan ditiru. Digugu diartikan sebagai sosok yang bisa dijadikan suri tauladan karena ilmu, perilaku, dan adabnya. Guru seringkali dianggap oleh masyarakat sebagai sosok yang berwawasan, berpengalaman, bijaksana, dan seseorang yang temuwo pun bijaksana. Tak heran jika beliau-beliau ditiru atau dijadikan contoh sifat, sikap, dan perilakunya dalam menjalani hidup bermasyarakat atau hidup di tengah masyarakat.

Pandangan tersebut sangat baik untuk mengabadikan sosok guru. Namun, kita harus ingat bahwa dalam hidup ini segala sesuatunya itu penuh Yin dan Yang, hitam dan putih. Namun, pandangan baik tersebut bagi pandangan beberapa orang juga menjadikan salah dua penyebab guru dianggap tidak keren di zaman yang sebar was wis wus wes wos ini.

Kita tarik dulu ke habbit kuliah mahasiswa keguruan. Sebagai eks mahasiswa keguruan, setidaknya dapat dilihat bahwa beberapa mahasiswa keguruan merasa menjadi mahasiswa yang dibentuk untuk bijaksana dan atau dapat mendidik itu sungguh tidak keren. Tidak relevan di zaman sekarang ini. Ha aku punk og! Itu hal yang sungguh berat.

Lihat saja, saat mahasiswa fakultas lain bebas memakai celana jeans sobek-sobek, kaos oblong, totebag estetik atau totebag dengan kata-kata tertentu yang dikawinkan dengan nuansa-nuansa kekiri-kirian atau kekanan-kananan atau kekiri-kananan atau kekanan-kirian untuk melenggang ke kelas, kami kudu pakai celana alusan dan kemeja. Jan ora njamani! Ditambah lagi harus benar-benar menjaga sifat dan sikap, berat geas. Serasa ndak bebas blas.

Semoga saja, pikiran masih tetap bisa tumbuh subur dan liar, pun tidak terjebak dengan korden tubuh. Sebab, dalam menilai, memupuk, dan menempa diri dalam melakoni hidup di marcapada ini bukan sebatas casing, tetapi yang lebih utama adalah software-nya. Casing merupakan bagian penunjang untuk menyukseskan penaburan, penyemaian, penjualan produk yang dimiliki dan diproduksi oleh software-software.

Itu masih soal mahasiswa keguruannya, belum sampai pada profesi gurunya. Mahasiswa keguruan juga takut membayangkan jika dirinya harus munafik. Maksudnya, ketika besuk lulus dengan gelar EsPeDe-nya apalagi ditambah dengan GeeR-nya, dan menjadi guru muda, mereka merasa terbebani pikiran dan batinnya. Lah bagaimana, perspektif guru itu harus bijaksana, temuwo, dan lain sebagainya itu sudah lekat eh. Mau tidak mau harus mau hidup dalam wadah itu.

Ketika teman sebaya berprofesi lain dan bisa polah tingkah sakpenake wudhele dhewe, sebagai guru setidaknya harus menjaga kebijaksanaan dalam melakoni hidup ini. Mudahnya, tidak bisa nakal gitu loh. Kalau mau ikut-ikutan nakal susah, harus ngumpet-ngumpet dulu. Lha bagaimana, di sekolah itu kalau mau merokok saya harus ngumpet-ngumpet biar ndak ketahuan peserta didik. 

Kalau merokok di depan peserta didik ya dikatakan tidak mematuhi peraturan instansi, kurang menjaga attitude atau norma yang berlaky, memberi contoh tidak baik, dan tentu akan dihujani beragam suara lainnya. Masa ya harus menambah panjang jam dan jadwal overthinking lagi. Kan ya males. Ngumpet-ngumpet tetap menjadi koentji.

Belum lagi ketika diri kelepasan mengucapkan kata-kata yang dianggap kurang baik, kotor, dan anggapan buruk lainnya. Misal, keceplosan berkata “Juancuk!” saat mengajar atau di depan rekan-rekan dan peserta didik. Wuh stigma pasti bakalan melekat, langsung viral, tranding topik di kantor, kantin, dan sebagainya.

Padahal kata itu bukan mengumpat, mengatai orang, namun ungkapan ketika takjub atas suatu hal dan susah menjelaskannya dengan kalimat lain. Misalnya, kala melihat lukisan atau karya siswa yang sering di-bully karena dianggap paling cupu, tidak mbois, tapi karyanya sangat luar biasa, estetik dan penuh filosofis, melebihi karya kaum tukang bully. Kalau mengucapkan dengan kalimat pasti sangat susah dan tentunya panjang, belum lagi harus mikir keras buat menyusun kata-katanya biar mudah dipahami orang-orang di situ. Walhasil, keceplosan kata "Juancuk!"

Mau tidak mau karena kata "Juancuk!" itu ya jadi kudu pasang sikap bodo amat, los dol, dan ndableg. Tentu harus mikir keras perang wacana dan geriliya menabur opini untuk menggerakkan hati dan pikiran di sekeliling atas kata itu. Bahwa dalam memandang kata harus luas, tidak sebatas dari makna eksplisit, tetapi juga dari sisi implisit, konteks, dan lainnya. 

Dan jadinya malah ribet sendiri, kan? Tetapi tak apa ribet, toh memang butuh perjuangan dalam membuka pandangan terlebih di tengah banjir informasi dan kemudahan ngelek informasi tanpa mengunyah.

Berangkat dari hal tersebut, banyak mahasiswa keguruan lantas mengaku dirinya salah jurusan. Dalih salah jurusan tersebut ada yang memang karena benar-benar salah jurusan, ada pula yang hanya sebatas menutupi suatu hal agar terlihat keren.

Belum lagi ketika mahasiswa keguruan dihadapkan pada kenyataan pahit soal kesejahteraan menjadi seorang guru, terlebih guru honorer, kontrak lagi. Ah ini berat sekali. Mau tidak mau harus berpuasa hidup, menjalani hidup dengan penuh ngampet dan prihatin, tentu harus selalu muter otak untuk memenuhi beragam kebutuhan. Kebutuhan, bukan keinginan.

Ketika mahasiswa teknik lulus dan bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji besar. Ketika mahasiswa ikatan dinas lulus langsung “mengabdi”. Ketika mahasiswa lain yang aktif di organisasi entah apa pun itu lulus, lalu masuk partai, dan beberapa tahun kemudian nyaleg lalu masang baliho dimana-mana dan berbicara demi bangsa dan negara, dan beneran jadi wakil rakyat.

Mahasiswa keguruan setelah lulus harus benar-benar “mengabdi” di sekolah. Itu pun dengan perjuangan panjang yang harus nyetak banyak surat lamaran pekerjaan, mumet edit cv, muter-muter masukin lamaran di sekolah-sekolah. Sialnya kok malah ketika sampai seleksi akhir kalah dengan orang lain yang punya kekuatan orang dalam. Lalu muter-muter lagi dan syukurnya sampai diberi amanah oleh Gusti menjadi seorang guru honorer. Tentu kita semua tahu bagaimana menjadi guru honorer. Berat. Iya berat, melebihi rindunya Dilan.

Ditambah lagi sekarang tidak ada formasi guru dalam CPNS. CPNS di sini bukan Calon Pegawai Nagita Slavina, tapi Calon Pegawai Negeri Sipil. Dua hal ini singkatannya sama, tapi tentu sangat beda nasibnya. 

Sekarang adanya PPPK, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Namun, syaratnya juga berat, harus sudah mengajar dahulu. Bagaimana para fresh graduate atau mahasiswa keguruan tidak tambah minder, lalu menganggap guru tidak keren. Persoalan minder dan keren itu tentunya berkorelasi bukan?

Sudah seperti itu masih ditambah pula terpaan baru era digital. Dimana banyak bermunculan profesi baru seperti atlet e-sport, trader, dan lain sebagainya yang entah dapat disebut sebagai profesi atau hanya bisa disebut sebagai pekerjaan. Pastinya, pekerjaan-pekerjaan itu lebih dianggap keren oleh sebagian orang, dan banyak dicita-citakan.

Sebenarnya masih banyak lagi yang mau dimuntah-muntahkan di sini. Namun, sepertinya sudah terlalu panjang, dan kurang baik juga jika apa pun itu terlalu berlebih.

Oke, sebetulnya dapat disimpulkan, dari semua anggapan dan alasan yang menjadikan profesi guru itu tidak keren, alasan kesejahteraan itulah yang paling  besar andilnya. Mahasiswa keguruan tentunya merasa minder atau lebih kerennya insecure ketika harus membahas soal kesejahteraan. Terlepas dari anggapan positif terhadap profesi guru yang dianggap bijaksana dan luhur, tetapi itu tidak cukup.

Memang manusia akan selalu merasa kurang dan tidak cukup. Tetapi ini semua sejatinya bisa diperbaiki mulai dari sistem berbekal kepekaan dan kepedulian kekuasaan dan jajarannya. Permasalahan guru honorer ini sudah berpuluh-puluh tahun, mbok setidaknya itu mulai diperhatikan. Toh semua ini demi kebaikan bersama. Demi bangsa ini juga. 

Sesekali pemerintah juga harus membayangkan, bagaimana besuk ketika saya yang berprofesi sebagai guru honorer dan akan melmar pacar saya yang dulunya anak Hubungan Internasional. Bagaimana dengan calon mertua saya, apakah tidak jauh itu kelasnya. Terlebih jika kita masih terlalu mendewa-dewakan kelas sosial. Begitu kiranya insecure yang berujung pula ke overthinking.

Apakah tidak kasian dengan pikiran dan jiwa para honorer yang overthinking dengan hal itu, yang sebelumnya sudah sesak overthinking atas nasib peserta didik dalam belajar dan menempa jiwanya untuk masa depan dirinya, keluarganya, lingkungannya, ditambah katanyanya generasi muda harapan bangsa. Kalau generasi mudanya mletre nanti yang disalahkan dunia pendidikan, guru lagi yang kena. Ah, sudahlah.

Bagaimanapun itu, urip iku wang sinawang. Kita melihat profesi lain lebih keren, tetapi belum tentu dia merasa keren. Begitu sebaliknya. Seiring perjalanan waktu, pendewasaan pun sedang disemai, penerimaan itu terjadi. Baru tersadar, ternyata yang dibutuhkan dalam hidup ini tak lain hanya bersyukur dan bersyukur. Seperti nama saya, hahahaha...

Ditulis oleh Muhamad Yaskur. Lahir dan tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Saat ini menyibukkan diri dalam ruang pengabdian dan dolanan kamera. Informasi lebih lanjut bisa ditilik di akun twitter sisentimental dan instagram yaskurlawrence.

Editor : Pemulung Rasa

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment