Ketua MK, Anwar Usman, memimpin sidang. Akbar Nugroho Gumay/Antara Foto |
Berdasarkan putusan tersebut, batas usia minimal warga negara Indonesia untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) tetap 40 tahun, kecuali jika yang bersangkutan pernah menjadi kepala daerah.
Putusan ini sontak menjadi perhatian publik karena dianggap membuka pintu bagi dinasti politik. Yang paling terlihat jelas akan diuntungkan adalah keluarga Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Anak sulung beliau, Gibran Rakabuming Raka, disebut hendak dipinang oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk menjadi cawapres dalam Pemilu 2024. Saat ini Gibran berusia 36 tahun dan menjabat sebagai Walikota Solo.
Selain terlihatnya tujuan politik atas putusan tersebut, secara teknis juga terdapat sejumlah kejanggalan terhadap putusan uji materiil ini.
1. Inkonsistensi terhadap Open Legal Policy
Ada tujuh permohonan yang dibacakan oleh MK hari itu, salah satunya adalah permohonan uji materiil No. 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Dalam permohonan ini, para pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q tersebut diskriminatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan maksud asli (original intent) pembentukan UUD 1945 dan Risalah Pembahasan Perubahan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa batasan usia capres dan cawapres adalah 35 tahun, bukan 40 tahun.
Selain itu, terdapat permohonan dari Partai Garuda pada perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan alasan yang sama. Dalam permohonan ini, pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni “pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat mengimbangi batas usia minimal 40 tahun.
Namun, semua permohonan tersebut ditolak oleh MK dengan dalih bahwa pembatasan usia capres dan cawapres merupakan ranah dari pembentuk undang-undang (open legal policy).
Hal yang berbeda terjadi pada permohonan uji materiil No. 90/PUU-XXI/2023. Tanpa adanya argumentasi hukum yang jelas, MK justru menerima sebagian permohonan mengenai batas minimal usia capres dan cawapres dengan syarat berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), dengan alasan bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu kepada MK.
Putusan tersebut memperlihatkan inkonsistensi pertimbangan hukum MK dengan beberapa putusan permohonan senada. Hal ini juga menunjukkan adanya dilema penggunaan open legal policy oleh MK.
Sungguh inkonsistensi yang sangat aneh. Bagaimana mungkin lembaga hukum setinggi MK dapat mengubah pandangan hukumnya dalam waktu yang sangat singkat?
Salah satu majelis hakim konstitusi, Saldi Isra, tegas menolak perubahan batas usia capres dan cawapres. Ia pun terang-terangan menyatakan bahwa alih-alih MK–dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman–menahan diri untuk tidak masuk ke dalam ranah legislatif (judicial restraint) dalam menentukan persyaratan batas usia minimum bagi capres dan cawapres, MK justru melakukan tebang pilih (cherry picking) terhadap permohonan tertentu.
2. Lemahnya Status Hukum Pemohon
Permohonan uji materiil No. 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta, pada 3 Agustus 2023.
Pemohon gugatan batas usia capres-cawapres ke MK. Alamas Tsaqibbirru Re A. /Mohammad Ayudha/Antara Foto |
Pemohon tidak menjelaskan kerugian konstitusional secara jelas. Pemohon juga bukan orang yang sudah berusia cukup untuk menjadi calon kepala daerah, juga bukan seorang kepala daerah, maupun anggota legislatif.
Basis kerugian konstitusionalnya hanya didasarkan pada pengalaman dan keberhasilan Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo. Dalil tersebut tentu tidak memiliki hubungan langsung dengan pemohon. Bila permohonan ini diajukan oleh Gibran, kerugian konstitusionalnya jelas karena dialami secara langsung sebagai pemohon.
MK biasanya sangat ketat perihal status dan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Namun dalam putusan ini MK terlihat “sangat ramah” dan bersedia memberi jalan lapang baginya untuk memenuhi syarat pemohon. Hal ini tentu bertentangan dengan syarat legal standing pemohon uji materiil MK yang menegaskan bahwa kerugian konstitusional harus dialami langsung, spesifik, dan aktual.
3. Konflik Kepentingan yang Terlihat Jelas
Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Putusan No. 29-51-55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh seluruh Hakim MK kecuali Anwar Usman selaku Ketua MK. Hasilnya, para hakim bersepakat untuk menolak permohonan ini, dengan dua hakim yang memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Namun, pada permohonan uji materiil No. 90-91/PUU-XXI/2023, Ketua MK hadir dalam RPH sehingga beberapa hakim mendukung model alternatif yang dimohonkan pemohon.
Apa yang terjadi ini mencerminkan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam tubuh MK. Ini karena permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 jelas menyebutkan nama keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai inspirasi pemohon dalam mengajukan permohonan uji materil terhadap ketentuan batas usia capres dan cawapres.
Anwar Usman sendiri adalah adik ipar Jokowi, yang artinya ia adalah paman dari Gibran. Sementara itu, Pasal 17 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
Artinya, Anwar sebenarnya punya tanggung jawab moral untuk tidak terlibat dalam persidangan permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023. Kenyataannya, ia justru terlibat dalam memutuskan langsung.
Melalui putusan ini, dapat dikatakan independensi MK semakin redup karena adanya pengaruh kehadiran Anwar. Musyawarah hakim yang seharusnya netral justru dinodai dengan konflik kepentingan.
Selain itu, pihak pemohon ternyata pun masih ada keterlibatan dengan Presiden Jokowi. Almas, pemohon gugatan, merupakan putra Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI).
Boyamin sendiri pernah mengaku kepada media Tempo bahwa ia punya hubungan dan kedekatan yang panjang dengan Jokowi.
Sejumlah pengunjuk rasa membawa poster berisi pesan tuntutan dalam aksi di depan gedung MK. Aditya Pradana Putra/Antara Foto |
Rangkaian Politisasi MK
Ini bukan pertama kalinya MK menunjukkan sikap politis dan diduga terlibat konflik kepentingan.
Sebenarnya penggembosan independensi MK secara masif dilakukan sejak adanya revisi UU MK yang dinilai cacat formil karena sejak awal tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan tidak memenuhi syarat carry over, naskah akademik buruk, dan pembahasannya dilakukan secara tertutup serta tidak partisipatif dan dengan waktu yang sangat singkat, yakni hanya tiga hari.
Ada pula tindakan pemberhentian sewenang-wenang oleh DPR terhadap Hakim Konstitusi Aswanto dari jabatan hakimnya. Alasan pemberhentiannya sangat politis, yakni karena DPR kecewa dengan kinerja Aswanto yang kerap menganulir produk undang-undang yang dibuat oleh DPR.
Setelah itu, publik semakin dibuat bertanya-tanya tentang independensi MK setelah Anwar menikah dengan adik kandung Jokowi pada tahun 2022.
Runtuhnya produk reformasi
Salah satu produk reformasi adalah adanya lembaga peradilan independen untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya.
Pada awal pembentukannya, MK diharapkan untuk memperhatikan secara serius ide awal dari Hans Kelsen, filsuf hukum dari Austria, yang menghendaki agar MK mampu menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dari kesewenang-wenangan institusi-institusi politik seperti Presiden dan lembaga legislatif yang kerap berjalan secara disfungsional.
Sayangnya, harapan terhadap produk reformasi tersebut kini mulai padam. MK tampaknya telah gagal menjadi lembaga peradilan yang independen, padahal lembaga peradilan yang independen adalah salah satu syarat berdirinya negara demokrasi yang berlandaskan hukum.
MK perlu merefleksikan kegagalannya dalam menjawab tuntutan reformasi. Lembaga peradilan seharusnya bebas dari semua tekanan, termasuk tekanan politik.
Ditulis oleh Fakhris Lutfianto Hapsoro, Lecturer of Constitutional Law, Sekolah tinggi Ilmu Hukum IBLAM Jakarta. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation