Presiden Joko Widodo (kiri) dengan dua putranya, Gibran Rakabuming Raka (kedua kiri) dan Kesang Pangarep (ketiga kiri), makan siang bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) beserta anak dan jajarannya. Akun Instagram @jokowi |
Dinasti politik sering dianggap sebagai antitesis dari hadirnya demokrasi. Namun, tampaknya hal ini justru telah menjadi bagian dari demokrasi modern.
Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak dan mantan pemimpin diktator Libya Muammar Gaddafi, misalnya, merupakan dua contoh pemimpin politik yang merancang dinasti mereka. Mereka mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan kepemimpinan yang mereka bangun untuk terus memiliki kuasa dalam proses pemerintahan.
Di Indonesia sendiri, istilah dinasti politik bukanlah hal yang asing kita dengar. Mulai dari dinasti Ratu Atut di Banten, dinasti Fuad Amin di Bangkalan, Madura, dinasti Limpo di Sulawesi Selatan dan beberapa dinasti lainnya.
Hari ini, publik sedang melihat makin jelasnya langkah Presiden Joko “Jokowi” Widodo perlahan membangun dinasti politiknya dengan membawa kedua anaknya masuk ke dalam dunia politik. Terkini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) minimal tetap 40 tahun, kecuali jika sudah pernah menjabat kepala daerah.
Putusan ini diyakini banyak pihak sarat akan kepentingan dinasti politik Jokowi guna membuka jalan bagi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat Wali Kota Solo, untuk bisa maju sebagai cawapres di Pemilu 2024. Terlebih lagi Ketua MK saat ini, Anwar Usman, adalah ipar Jokowi.
Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, terpilih menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meskipun baru beberapa hari resmi bergabung dengan partai tersebut, bahkan baru saja terjun ke dunia politik.
Selain PSI, sejumlah partai di Indonesia pun tampaknya sudah terjebak di pusaran dinasti politik. Partai Demokrat, contohnya, kini dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan pendiri dan sosok penting dalam partai Demokrat sekaligus presiden yang berkuasa selama satu dekade (2004-2014). AHY meraih jabatan Ketua Umum Partai Demokrat kurang lebih empat tahun setelah ia terjun ke politik. Ini tentunya waktu yang sangat singkat.
Dinasti politik tampaknya sulit dihindari. Partai politik kerap terjebak melanggengkan dinasti politik dari internalnya, kebanyakan demi mempertahankan eksistensinya. Bisakah partai lepas dari jerat dinasti?
Mengapa Partai Bisa Terjebak dalam Dinasti Politik?
Dalam buku yang berjudul Democratic Dynasties, sejumlah penulis mencoba membahas dinasti politik yang terjadi di India–yang bisa menjadi gambaran dari dinamika politik yang terjadi hari ini di Indonesia.
Di India, dinasti politik dianggap sebagai fenomena modern yang sulit dihindari. Sebab, partai politik itu sendiri yang, baik langsung maupun tidak langsung, mendukung hadirnya proses dinasti di tubuh partai. Proses kaderisasi partai politik tampaknya justru mendorong terjadinya dinasti dengan mudah karena dinasti politik dianggap memberikan keuntungan tersendiri bagi partai.
Di Indonesia, sejumlah partai politik menganggap bahwa mereka atau calon kader yang berada dalam garis keluarga dengan politikus senior telah memiliki reputasi tersendiri dan lebih mudah dikenal oleh publik, dan ini dilihat sebagai suatu keuntungan. Ini pada akhirnya membuat partai terus mendorong hadirnya keluarga politik bertumbuh di Indonesia.
Di samping itu, kader yang berasal dari dinasti politik biasanya telah memiliki akses sumber daya yang jauh lebih mumpuni. Mereka telah siap dengan sumber daya kampanye, mulai dari pendanaan, relawan, hingga dukungan media.
Selain itu, partai menganggap pihak keluarga kemungkinan lebih loyal dan dipercaya oleh elit partai, sehingga mereka punya akses terhadap proses kaderisasi yang lebih mudah dan cepat. Bahkan, jika partai tersebut telah memiliki sejarah panjang dan memiliki pengaruh yang kuat, kecenderungan timbulnya dinasti politik biasanya akan lebih kuat.
Fenomena dinasti politik juga erat kaitannya dengan pihak tertentu yang mengambil keuntungan dengan adanya hubungan khusus dengan pengambil kebijakan hingga akhirnya terbentuk birokrasi patrimonial (hubungan birokrasi antara patron dan klien yang bersifat pribadi). Kondisi ini membuat urusan yang semestinya dijalankan secara profesional, seperti putusan MK, berakhir dengan mengakomodasi kepentingan masing-masing.
Bagi partai politik, dinasti juga sering digunakan sebagai jalan pintas untuk menaikkan elektabilitas dan popularitas partai. Ini bisa menjadi strategi cepat untuk memenangkan pemilu.
Dampak Dinasti Politik
M.E. McMillan dalam bukunya yang berjudul Fathers and Sons: The Rise and Fall of Political Dynasty in the Middle East mencoba menjabarkan bagaimana kekuasaan di banyak wilayah Timur, seperti Libya, Mesir, Arab Saudi dan lain-lain, negara tersebut dikonsentrasikan di tangan satu individu atau keluarga.
Di sana, banyak pemimpin yang akhirnya dengan sengaja melakukan dinasti politik demi membangun sistem yang dapat mengamankan kekuasaan mereka. Contohnya adalah Ali Abdallah Saleh, Presiden Yaman periode 1990–2012, yang pada akhir 2010 berniat mengubah konstitusi agar putranya bisa menggantikannya sebagai pemimpin.
Sama halnya dengan mantan pemimpin Irak, Saddam Hussein, yang meneruskan kepresidenan kepada salah satu dari dua putranya, Uday atau Qusayy. Untungnya, era Saddam dan semua pemikiran tentang dinasti Hussein berakhir setelah invasi AS ke Irak pada 2003.
Ini semua pada akhirnya menciptakan sistem yang membuat kekuasaan, hak istimewa, dan kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil elit. Sementara mayoritas penduduk dibiarkan kehilangan kendali atau tak lagi memiliki pengaruh.
Lebih jauh lagi, dinasti politik dapat meningkatkan risiko korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem yang mengutamakan hubungan pribadi dan loyalitas daripada aturan formal dan transparansi akhirnya rentan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Penelitian membuktikan bahwa semakin meningkatnya dinasti politik yang terjadi, semakin buruk akibatnya pada pertumbuhan ekonomi bahkan bisa melahirkan kemiskinan yang parah di suatu daerah. Dalam beberapa kasus, dinasti politik dapat memfasilitasi praktik korupsi, terutama jika keluarga memiliki kontrol yang kuat atas lembaga politik dan ekonomi.
Selain masalah ekonomi, masalah krisis kader dan kepemimpinan jelas akan menjadi tantangan dari partai politik tersebut. Jika partai bergantung pada dinasti politik, ini dapat menghalangi regenerasi dan inovasi di dalam partai itu sendiri.
Jika posisi politik terus-menerus didominasi oleh anggota keluarga yang sama, kesempatan bagi individu yang berbakat dari luar keluarga untuk mendapatkan kesempatan memimpin jadi terhalang. Lagi pula, tidak ada jaminan jika anggota dari keluarga politik tertentu dapat mengulang kesuksesan pendahulunya. Pada akhirnya, ini dapat merugikan reputasi partai secara jangka panjang.
Melepaskan Diri dari Dinasti Politik
Demi mencegah hal-hal buruk tersebut terjadi, partai semestinya mulai memikirkan upaya untuk mencegah terjadinya dinasti politik.
Beberapa upaya dapat ditempuh partai politik adalah mulai dari internal partai. Penting bagi partai politik untuk menetapkan aturan yang jelas tentang proses seleksi kandidat, termasuk batasan bagi anggota keluarga pemimpin partai untuk mencalonkan diri dalam posisi tertentu. Langkah ini perlu didukung dengan pendidikan politik kepada anggota dan kader partai tentang bahaya dinasti politik dan pentingnya regenerasi dalam kepemimpinan.
Tahapan tersebut akan efektif jika dilandasi dengan transparansi, sehingga prosesnya dapat dipantau dan dievaluasi oleh anggota partai dan publik.
Selain itu, sudah saatnya partai politik mengedepankan sistem meritokrasi (berdasarkan prestasi dan kompetensi) dalam seleksi kandidat, sehingga kualifikasi, pengalaman, dan integritas yang menjadi pertimbangan utama, bukan hubungan keluarga.
Terakhir, partai politik butuh mendorong partisipasi aktif masyarakat dan media dalam mengawasi proses politik, termasuk seleksi kandidat oleh partai.
Ditulis oleh Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.