Tren '10 Ribu di Tangan Istri': Romantisasi Peran Domestik di Tengah Ekonomi Pelik

Tren ini justru berisiko mengaburkan tekanan sosial ekonomi yang semakin mengimpit masyarakat kelompok bawah, rentan, dan menengah!
Indra_aldyla/Shuttershock

  • Tren ‘10 ribu di tangan istri yang tepat’ menyiratkan kentalnya ketidakadilan gender dalam rumah tangga Indonesia.
  • Penekanan tanggung jawab pada istri mengalihkan persoalan utama, yakni pemerintah tak beres mengupayakan kesejahteraan. 
  • Suami-istri perlu berbagi peran dengan adil, dan pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan yang memperparah ketimpangan.

Media sosial sempat diramaikan dengan konten ‘10 ribu di tangan istri yang tepat’. Sang istri yang sedang hamil menunjukkan bahwa ia mendapatkan uang belanja sebesar Rp10 ribu dari sang suami. Ia memenuhi makan sekeluarga dengan bahan masakan seharga Rp6 ribu dan menabung Rp4 ribu sisanya.

Konten tersebut memunculkan reaksi negatif dari warganet. Sebagian besar merasa yang dilakukan istri tersebut tak realistis di keadaan ekonomi sekarang.

Reaksi keras warganet mengisyaratkan bahwa publik sebenarnya menangkap pesan bermasalah dari tren ini. Ada kesadaran samar bahwa di balik romantisasi cara hemat dalam membelanjakan uang, terdapat peran domestik yang timpang.

Nikmati ragam pemikira para pakar di kolom HIBERNASI

Ketimpangan peran domestik dalam keluarga

Konten tersebut sejatinya menempatkan istri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab sehingga harus pintar menyiasati keuangan dalam memenuhi kebutuhan keluarga, berapa pun uang belanja yang diberikan suami.

Sayangnya, posisi ini bukanlah posisi yang “mulia” seperti yang selalu disebut-sebut. Posisi ini adalah bentuk ketidakadilan relasi suami-istri yang tidak bisa dilepaskan dari warisan ideologi gender di Orde Baru yaitu ibuisme negara.

Ibuisme negara adalah ideologi yang menempatkan istri sebagai pengurus rumah tangga yang harus melakukan apa saja untuk tidak membebani suami. Sosok istri, dalam ibuisme, juga sudah sepatutnya melayani komunitas hingga negara. Ideologi ini tanpa disadari menjadi standar istri ideal.

Dalam konteks tren “10 ribu di tangan istri yang tepat”, ketidakadilan dalam relasi gender disembunyikan lewat nuansa romantisasi perjuangan istri membelanjakan uang 10 ribu.

Alih-alih mengkritik uang belanja yang tidak sebanding dengan kebutuhan sehari-hari, istri seolah diajak untuk menginternalisasi sifat penuh penerimaan dan merayakan memasak dengan hemat.

Baca juga: Terjebak ‘Ibuisme’: Mampukah Dharma Wanita Menjadi Organisasi Progresif dalam Perjuangan Kesetaraan Gender?

Peliknya kondisi ekonomi

Banyaknya kritik dan pertanyaan terhadap konten tersebut sebenarnya juga menunjukkan kegelisahan masyarakat luas.

Konten tersebut seakan menekankan bahwa setiap individu seharusnya dapat bertahan di tengah kondisi apa pun, asalkan banyak akal.

Fokus narasi pada individu tersebut justru berisiko mengaburkan tekanan sosial ekonomi yang semakin mengimpit masyarakat kelompok bawah, rentan, dan menengah, khususnya selama tiga tahun terakhir.

Dalam kata lain: Ketika suatu keluarga tidak bisa makan, maka yang bersalah adalah istri karena tidak bisa berhemat dan kreatif. Kita seakan tak menyadari bahwa kondisi sulit juga dipengaruhi faktor di luar individu.

Nikmati tulisan di kolom SENGGANG

Penekanan pada aspek individu merupakan ciri dari neoliberalisme, paradigma ekonomi politik yang dominan saat ini. Pandangan ini mempercayai bahwa kesulitan-kesulitan masyarakat adalah murni kegagalan individu.

Dalam masyarakat neoliberal, ada penekanan bahwa masing-masing individu memiliki kemerdekaan. Setiap orang punya modal untuk bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Tanggung jawab untuk mencapai kesuksesan ekonomi dititikberatkan pada individu.

Menurunnya kualitas hidup karena tergerusnya layanan publik adalah salah satu gejala dari neoliberalisme. UKT tinggi, kian terpuruknya kualitas sekolah-sekolah negeri, layanan kesehatan yang tidak merata, adalah beberapa contohnya.

Masalah struktural seperti mahalnya harga perumahan, maraknya pinjaman daring (pinjol) dan paylater juga dialihkan dengan solusi-solusi individual yang banyak ditawarkan lewat industri perencana keuangan dan wacana finansialisasi. Seakan-akan segala kesulitan ekonomi dapat dibereskan dengan belajar manajemen keuangan.

Nikmati beragam karya sastra di TETES EMBUN

Narasi lama terulang kembali

Kami menemukan bahwa “10 ribu di tangan istri yang tepat” adalah narasi daur ulang yang setidaknya pernah muncul pada 2023.

Saat ini, narasi tersebut tak hanya dimunculkan oleh neoliberalisme, tetapi diperkuat dengan budaya patriarki.

Figur “ibu rumah tangga yang bahagia” ini menunjukkan bagaimana budaya patriarki dalam keluarga diinternalisasi dan diterima sebagai sesuatu yang lumrah, dan bahkan membahagiakan. Figur ini kemudian menjadi figur yang dianggap ideal dalam rumah tangga.

Pengurusan rumah tangga dan pengasuhan yang dianggap sebagai sebuah kebahagiaan juga merupakan bentuk “retreatism” yaitu kondisi ketika ruang domestik diglorifikasi sebagai hal yang feminin.

Membaca retreatism dalam konteks tekanan ekonomi, kita memahami bagaimana romantisasi istri berjalan seiring dengan kebijakan neoliberal yang mengurangi peran negara dalam layanan publik.

Secara khusus, kreativitas istri dalam mencari solusi krisis ekonomi yang memengaruhi belanja rumah tangga menunjukkan bagaimana upaya penghematan oleh perempuan tak hanya untuk memenuhi standar “istri ideal”, tetapi kini juga bentuk upaya bertahan di tengah peliknya ekonomi.

Nikmati beragam artikel tentang perempuan, kesetaraan gender, dan feminisme di rubrik PUAN

Apa yang dapat dilakukan?

Kami melihat bahwa fenomena ini bisa kita respons pada dua level.

Di level mikro (rumah tangga), suami-istri harus berbagi peran dengan adil. Persoalan mengatur belanja untuk kecukupan gizi jangan dibebankan ke istri saja.

Anggapan bahwa istri harus kreatif adalah bentuk kekerasan simbolik yang menyembunyikan kegagalan kebijakan ekonomi politik. Masing-masing rumah tangga harus berkolaborasi dalam semangat kesetaraan mencari cara untuk bisa bertahan hidup di tengah ketimpangan yang kian tajam.

Kolaborasi lebih luas dengan komunitas juga merupakan hal yang penting. Bentuk-bentuk ekonomi solidaritas seperti Warga Bantu Warga semasa pandemi COVID-19 dan aksi bagi-bagi sayur gratis yang muncul akhir-akhir ini di tengah kebijakan pemerintah yang kian represif—tak dipungkiri menjadi dukungan yang sangat diperlukan rumah tangga dalam situasi saat ini.

Di level kebijakan, pemerintah perlu melihat ini sebagai gejala serius impitan ekonomi yang harus segera diatasi.

Pemerintah perlu mengoreksi kebijakan-kebijakan yang semata mengutamakan efisiensi tetapi mengabaikan kualitas layanan publik. Pada saat yang sama, pemerintah seharusnya mulai menerapkan kebijakan pajak yang berkeadilan.

Perluasan perlindungan sosial yang menargetkan masyarakat berbagai sektor, termasuk sektor informal juga menjadi hal yang mendesak.

Baca juga beragam tulisandi rubrik NOSTALGIA 

Apa bedanya uang nafkah dan belanja istri
Ilustrasi kebutuhan pokok sehari-hari. Ika Rahma H/Shuttershock

Kebijakan pemberian UBI (Universal Basic Income), merupakan salah satu pilihan perluasan perlindungan sosial ini. UBI adalah pemberian uang tunai dari pemerintah ke rakyat tanpa syarat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebijakan ini tidak hanya dapat menargetkan sektor informal, tetapi juga relevan bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya.

Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang justru berkontribusi pada tekanan sosial ekonomi bagi masyarakat kelas menengah dan bawah.

Misalnya, pemangkasan dana transfer daerah dan kebijakan MBG (Makan Bergizi Gratis) yang menyerap anggaran pemerintah secara signifikan, tetapi tidak memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat.The Conversation

Ditulis oleh Kanti Pertiwi, Assistant Professor in Organisation Studies, Universitas Indonesia dan Hariati Sinaga, Assistant Professor, Universitas Indonesia

Artikel ini tayang di salik.id berkat kerja sama ddengan The Conversation Indonesia. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment