Menelisik Minat Baca Generasi Indonesia | Yanti Sariasih

Tanpa kemampuan membaca dan menulis, sebuah bangsa tidak akan dipandang sebagai bangsa yang bermartabat.

Semakin banyak membaca, semakin banyak pengetahuannya. Semakin banyak membaca, semakin apik tulisannya. Semakin banyak membaca, semakin tinggi ilmunya. Dengan membaca, Anda telah membuka dunia.

Sekilas, tidak ada yang istimewa dari pernyataan tersebut. Semuanya seputar membaca dan membaca, kemudian membaca dan menulis sehingga memperoleh ilmu dan pengetahuan yang diinginkan.

Istilah sederhana membaca dan menulis akrab dikenal dengan istilah literasi. Secara sederhana, literasi diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Hal tersebut  lebih akrab lagi dikenal dengan istilah melek aksara atau keberaksaraan. Namun, sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). 

Baca juga: Jon Fosse, Pembawa Suara dari Utara | Alexander Howard

Secara umum melek aksara diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis, yang lawan katanya adalah buta huruf atau tuna aksara (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Biasanya, tingkat melek aksara dihitung dari persentase populasi dewasa yang bisa menulis dan membaca.

Melek aksara juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan bahasa dan menggunakannya untuk mengerti sebuah bacaan, mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan berbicara.

Para Antropolog bahasa, seperti Lucian Levy-Bruhl, Claude Levi-Strauss, Walter Ong, dan Jack Goody memandang literasi (bahasa) sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dari masyarakat “beradab”.

Baca juga: Demam “Gadis Kretek”: Ekspor Adiksi Rokok yang Mengancam Pengendalian Tembakau Lintas Negara

Membaca akan bersinggungan dengan istilah minat baca. Sudah menjadi rahasia umum bahwa minat baca peserta didik di Indonesia masih rendah. Pernyataan ini sesuai dengan paparan UNESCO yang dikemukakan Republika edisi 12 September 2015 (dalam Permatasari, 2015: 146—147) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001.

Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10—20  buku per tahun.

Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10—15  buku setahun. Lebih lanjut, tingkat literasi kita juga hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris ialah tingkat membaca siswa Indonesia hanya menempati urutan 57 dari 65 negara.

Baca juga Terjebak 'Ibuisme': Mampukah Dharma Wanita Menjadi Organisasi Progresif dalam Perjuangan Kesetaraan Gender?

Literasi erat kaitannya dengan bahasa. Tanpa bahasa, tidak ada wacana atau bacaan yang dapat dituliskan dan dibaca orang lain. Memasuki era globalisasi, sudah seharusnya literasi memasuki babak baru, memasuki gerbang baru sehingga dapat menjangkau perabdaban melalui budaya literasi (baca dan tulis).

Paradigma bahwa membaca adalah pekerjaan yang membosankan dan membuat ngantuk masih sangat melekat kuat. Selain itu, membaca juga dianggap sebagai pekerjaan yang membuang waktu sehingga hal ini berdampak pada dominannya budaya lisan daripada budaya baca.

Alwasilah (2005:121) mengungkapkan, bahwa dalam tradisi Indonesia yang lebih berbudaya ucap-dengar daripada  berbudaya baca-tulis, batasan literasi cenderung mengabaikan komponen menulis.

Salah satu tantangan terbesar dalam pemberdayaan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi lisan (orality) untuk memasuki tradisi baca tulis (literacy). Bagaimanapun, era informasi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh kembangnya media tulis.

Baca juga ragam artikel tentang PEREMPUAN

Data dari Association For the Educational Achievement (IAEA), misalnya, mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia masuk pada peringkat dua dari bawah.

Indikator penting dalam mengukur budaya literasi suatu bangsa dapat dilihat dari jumlah buku atau jurnal yang diterbitkan di dalam negara itu sendiri.

Di wilayah ASEAN, jumlah penerbitan buku di Indonesia tertinggal jauh, yaitu sebanyak 6.000 judul buku per tahun, sementara Malaysia sejumlah 10.000 judul buku, dan Singapura 12.000 judul buku. Lebih lanjut lagi, di level Asia Pasifik, Cina dan Jepang menerbitkan masing-masing 60.000 judul buku.

Sementara itu, Kompas mencatat bahwa pada 2009, Indonesia baru sanggup menerbitkan sekitar 8.000 judul buku per tahun. Jumlah ini sama dengan Malaysia yang berpenduduk sekitar 27 juta jiwa dan jauh di bawah Vietnam yang bisa mencapai 15.000 judul buku per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa.

Baca juga ragam pemikiran di rubrik HIBERNASI

Berdasar data Science and Engineering Indicators, jumlah publikasi bangsa Indonesia pada 2003 hanya 178 artikel, tertinggal jauh di bawah negara-negara ASEAN, seperti Malaysia yang mempunyai publikasi 520 artikel, Vietnam 206, Filipina 179, Thailand 1.072, dan Singapura 3.122.

Sementara itu, Korea Selatan memiliki 13.746 publikasi, dan Jepang sejumlah 60.067 artikel. Kalau dihitung jumlah artikel perkapita, posisi Indonesia semakin mengenaskan: berada pada urutan 134 dunia, dengan indeks 0,88 artikel per 1 juta penduduk.

Dampak dari globalisasi telah menciptakan ruang aktualisasi yang luas, dunia akan memandang sebuah bangsa dari karya yang dihasilkannya. Robert A.Day mengatakan:

“Scientist are measured primarily not by their dexterity in laboratory manipulations, not by their innate knowledge of their board or narrow scientific subjects, and certainly not by their wit or charm; they are measured, and become known (or remained unknown) by their publications.”

Dari paparan di atas, jelas bahwa budaya literasi merupakan kegiatan ilmiah yang perlu dioptimalkan agar tercipta suatu budaya literasi yang mengakar pada diri generasi Indonesia.

Optimalisasi budaya literasi merupakan agenda yang perlu terus diperhatikan. Bagaimanapun juga, kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya untuk meretas komunikasi global.

Baca juga ragam tulisan bertajuk SENGGANG dari beragam penulis.

Melalui budaya literasi, transfer ilmu pengetahuan dari satu negara ke negara yang lain dapat berjalan secara optimal. Selain itu, tanpa kemampuan membaca dan menulis, sebuah bangsa tidak akan dipandang sebagai bangsa yang bermartabat.

Dalam konteks yang lebih sempit, menyemai budaya literasi merupakan langkah yang baik untuk memulai perubahan global.  Optimalisasi budaya literasi adalah variasi gerakan yang sepatutnya lebih digiatkan karena zaman telah berkembang sedemikian cepat.

Optimalisasi budaya literasi juga berbicara tentang upaya menggalakkan tradisi tulis melalui literasi. Hal yang dapat diupayakan untuk mewujudkan hal tersebut antara lain.

  1. Mengoptimalkan perpustakaan, tanpa disadari bahwa perpustakaan memiliki peran penting dalam menggalakkan budaya literasi generasi muda yang dapat dimulai sejak bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

  2. Dukungan orang tua dan guru, besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari dukungan atau dorongan orang tua dan atau guru juga berdampak baik dalam menggalakkan budaya literasi. Orang tua dan guru adalah model bergerak yang pertama kali harus mencontohkan budaya literasi kepada anak atau siswanya. Memberikan dukungan dan penguatan serta latihan sehingga menimbulkan kebiasaan literasi dikalangan generasi penerus bangsa.

  3. Pengadaan lomba, sebagai bentuk apresiasi kemampuan literasi generasi bangsa sehingga mereka dapat lebih terpacu dalam meningkatkan literasi mereka.

  4. Dukungan pemerintah dalam membudayakan literasi sangatlah diperlukan dalam bentuk pengadaan kerja sama atau seminar-seminar yang dapat diadakan sebagai wadah bagi kaum literat generasi bangsa. Selain itu, pemerintah dapat memfasilitasi penerbitan buku yang telah dihasilkan generasi bangsa agar karya atau hasil tulisan mereka dapat dibaca oleh orang lain.

Ditulis oleh Yanti Sariasih, dosen, asesor PAUD, dan kepala TK Gemilang Jaya Baturaja.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment