Indonesia butuh Pemimpin yang tulus dan ikhlas(?)
Sebuah kalimat
tanya atau motivasi yang bakal sering tayang disemua headline berita dan topik diskusi diberbagai lembaga pendidikan
dan layar berbayar. Para tokoh penjilat kursi jabatan dan pencari nafkah dari
penipuan bakal muncul dengan suara lantang. Mereka pasti semangat berteriak
bagaikan anjing yang menggongong. Pastinya tentang pemikiran yang seolah
dirinya malaikat yang membawa kabar gembira bagi rakyat.
Sialan! Musim itu akan segera tiba dan sudah dimulai dengan demam
elektabilitas para kader boneka para cukong negara.
Sudah. Mereka sudah
mulai mengubah penampilan. Mengubah ujud menjadi sosok keibuan. Serban dan peci entah pinjam dari
mana atau mungkin bisa jadi dari saudagar kain
yang siap berbaris di garda depan mereka. Tentu, selembar kain itu akan
mendatangkan berlembar-lembar proyek ketika junjungannya naik menjadi pemimpin para bedebah.
Para penjilat pun mulai
muncul ke permukaan. Memanfaatkan media untuk tangga menaikkan ambisi. Entah
berkoalisi atau oposisi lawan politiknya. Intinya, mereka lahir untuk membunuh
demi mencari nasi buat dirinya sendiri.
Jadi, apakah masih
percaya jika contrengan yang kita berikan itu akan membuat mereka bekerja demi
rakyat
dan benar-benar memikirkan nasib rakyat pun masa depan negerinya?
Bohong!
Itu kebohongan akut
mereka yang muncul dengan siklus lima tahunan. Mereka hanya para pencari kerja.
Mereka berdiri berbicara atas nama bangsa hanya untuk menutupi niat pribadi,
kehausan, kerakusan, dan keuntungan
sendiri pun kelompoknya.
Dari barisan mereka, siapa yang mau berjuang dengan modal jutaan bahkan miliaran rupiah yang
benar-benar demi menjadi abdi dan berjuang untuk rakyat? Ada manusia semulia itu,
yang hidupnya diwakafkan untuk mengabdi? Berkorban demi orang lain atas nama bangsa dan negara?
Sedangkan,
manusia di bumi banyak sekali yang
menganggap hidup adalah ajang perlombaan dan adu pencapaian. Banyak manusia yang menghabiskan umurnya
untuk berlomba-lomba mencari uang dan
kekayaan. Dan apakah mereka
(boneka
para cukong) berjuang demi
kebangsaan?
Rasanya sulit untuk
dipercaya. Bahkan, sangat bodoh jika percaya kalau mereka bekerja atas nama bangsa dan
negara bukan ego semata demi cuan agar
tambah kaya dan berkuasa.
Contoh kecil saja
kerakusan mereka bisa dilihat. Sejak jaman kakek, anak, cucu, dan semua elit
berlomba memunculkan anak keturunannya agar bisa masuk ke tanah politik. Untuk
apa? Bangsa dan negara?
Bohong!
Mereka muncul demi
menjaga nama keluarga dan kuasanya.
Apakah mereka salah?
Tidak! Mereka tidak
salah, sebab Undang-Undang
mengatakan bahwa semua warga negara berhak memilih dan dipilih. Lantas,
kesalahan siapa?
Ah, tanyalah
pada rumput yang bergoyang.
Pada intinya, selihai
apa pun mereka membodohi kita (rakyat jelata) pemilih, jika kita punya nurani
dalam menentukan pilihan dan pandai dalam memilih, maka meski salah setidaknya
tak sampai membunuh generasi ke generasi. Artinya, siapa pun yang kita pilih
akan salah, tetapi kesalahan itu tidak seratus persen, dan masih ada hal yang
bisa diselamatkan jika kita berpegang pada jimat kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika dan
Pancasila, serta berpedoman
pada tokoh yang bisa dipercaya dan jujur.
Seperti apa tokoh yang
jujur?
Sulit mencari cirinya,
sebab jika figur yang tampil itu baik, jujur, tetapi ada tangan lain di balik
layar. Nah, perlu dipahami jika ketika wayang itu bermain peran, maka ada
dalang yang memainkan peran. Dalang itulah yang perlu dipelajari, apakah
dalangnya bagus atau justru memiliki ambisi lain? Atau
bisa jadi bukan si dalang yang melakonkan wayang itu, namun ada sang pembuat
naskah yang menggerakkan dalang memainkan lakon wayang seperti itu? Entahlah.
Namun, tetap
sulit menebak apakah wayang serta dalangnya bagus dan jujur. Setidaknya, ketika buntu
memahami figur dan dalang, tetapi
prosesnya baik. Jangan sampai sudah kotor dalangnya, kotor pula prosesnya. Sebab,
hal itu bisa membuat makin buruk pun
keruh keadaan.
Periode itu selalu bisa
dibaca usai pesta rakyat yang bakal ramai dengan berita kardus, gembok, suara,
kursi, sampai penghilangan suara dan peretasan situs komisi
pemilihan umum. Ah, lagi-lagi lidahku
terpancing dengan sesuatu yang sering disebut hoaks.
Mau cari orang yang
paling tulus dan ikhlas yang tidak peduli dengan apa pun, itu sangat sulit.
Apalagi, dunia modern saat ini yang semuanya harus dihargai dengan uang. Iya, saat ini hanya tersisa 'kentut' yang masih gratis.
Mungkin belum. Bisa saja, tahun depan atau kedepannya, bakal ada ruang khusus
kentut dan pemanfaatan kentut sebagai bahan bakar pengganti gas elpiji yang
sering hilang di pasar.
Kepalaku pun melayang-layang dalam angan, mungkin suatu
hari nanti akan ada pajak kentut. Siapa tau ada yang akan mencanangkan proyek
besar membuat sensor kentut yang dipasang di setiap pantat orang-orang.
Programnya setiap kentut membayar pajak yang bisa dibayar setiap bulan sekali
untuk dana iuran bayar utang. Ah ini keren sekali tentunya. Jauh lebih keren
lagi nanti pembahasannya di rapat dewan, semua orang dan media akan
beramai-ramai membicarakan kentut, saling kentut-kentutan, dan menggelar
pagelaran kentut masal mumpung masih gratis.
Rasa-rasanya tidak elok jika bericara kentut terlalu
banyak, jauh lebih baik kembali lagi ke pembicaraan sebelumnya.
Saat ini, sereceh
itu untuk melihat kondisi yang serba susah. Hilang begitu saja tanpa tahu
alasannya. Tidak hanya gas yang menghilang sekali tepuk, minyak goreng pun
menjadi pelicin yang bisa mendatangkan cuan bagi kaum egois.
Intinya, kejujuran dan
keikhlasan saat ini itu layaknya jimat. Butuh bertapa di tempat sakral dan
tentu bekerjasama dengan demit. Sebab, jin dan bangsanya tidak berambisi
menguasai harta, justru memberi ruang pada manusia yang ingin kaya. Mereka
justru legowo dalam kemanusiaan meski mereka bangsa Jin. Sebab, manusia justru
rela membohongi manusia lain demi kekuasaan.
Jadi, saya makin sadar
jika orang
dengan gangguan jiwa adalah manusia
paling jujur dan ikhlas. Mereka tulus menjalani hidup dengan dirinya sendiri. Berani
tampil percaya diri menjadi dirinya sendiri. Mereka tidak peduli minyak goreng naik dan mahal, tetap
berusaha terus menikmati hidup dan menjalani hidup sebagai mana mestinya hidup.
Tidur tidak perlu harus beralaskan Kasur atau springbad, apalagi hotel bintang lima. Makan tidak perlu yang enak atau viral atau kekinian,
tapi yang penting bikin kenyang untuk suplai energi,
dan hidup
tetap jalan.
Bagiku, pemimpin yang jujur adalah halusinasi manusia, sebab mungkin sulit terjadi. Kejujuran hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sering disebut gila.
***
Tulisan ini tidak
berdasar teori, hanya kilasan diri sendiri tentang kondisi di negeri ini. Saya
percaya, jika bangsa ini masih bisa menghargai aspirasi dan perbedaan
pandangan, meski itu hanya lisan, sebab salah ketik bisa berujung jeruji.
Berbeda politik bukan berarti berkonflik. Kalau tujuan demi bangsa dan negara,
yang beda harus makin membuat kita kaya.
Memikirkan negara itu bukan tugas saya, tapi jika ngomongin negara, itu tugas semua orang. Termasuk saya, sebab saya bagian dari kerugian jika hanya diam melihat kezaliman. Sayang, bersuara di negara ini sulit dipercaya, sebab fakta bisa di hoakskan, dan hoaks bisa difaktakan. Dan jelasnya, kita saat ini sedang berlayar dalam samudera ketidakjelasan, ketidakpastian, dan kebingungan.
***
Ditulis oleh Amar T. Ma’ruf atau lebih akrab dikenal dengan nama pena Marutami. Lelaki kelahiran di Pemalang dan sekarang merantau di seberang lautan. Menulis menjadi hobi meski belum terkenal juga. Bisa disapa di IG @Marutami_1 dan FB Marutami.
Editor: Pemulung Rasa