Sumber: shutterstock/3rdtimeluckystudio |
Kemajuan peradaban manusia telah mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap bumi. United Nations Environment Programme mencatat sejak revolusi industri 1.0 pada abad ke-18, sebanyak 87% lahan basah global hilang. Padahal, lahan basah merupakan habitat alami flora dan fauna, sumber air bersih, dan sumber resapan air pencegah banjir.
Puncak akselerasi kehancuran ekosistem terjadi sejak 50 tahun terakhir. Dalam kurun waktu ini, manusia mendegradasi lebih dari 2 miliar hektare lahan.
Fenomena ini membawa kita kepada dua wawasan kritis. Pertama, dunia masih bergerak lamban dalam menghadapi krisis iklim dan agenda transisi energi. Kedua, misi berkelanjutan seakan berlawanan dengan pertumbuhan dan kegiatan ekonomi, terutama sektor ekstraktif yang dinilai lebih praktis dan menguntunkan secara ekonomis.
Baca juga ragam pemikiran dan pandangan dari para pakar, peneliti, dosen, dan pemikir di bidangnya di rubrik HIBERNASI
Mengenal Ekonomi Restoratif
Kerusakan lingkungan yang kian parah memicu keresahan bagi para pemerhati lingkungan untuk menggagas model ekonomi yang lebih progresif dan ramah lingkungan, yaitu ekonomi restoratif. Istilah ini dipopulerkan oleh pengusaha dan pakar lingkungan asal Amerika, Paul Hawken, pada 1993. Dalam bukunya The Ecology of Commerce, Hawken mengatakan “restorasi adalah mengembalikan sesuatu ke kondisi semula”.
Semangat ide ini disambut baik oleh Ekonom Oxford Kate Raworth pada 2012 melalui bukunya Doughtnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. Raworth sepakat bahwa manusia modern tidak bisa lagi berpikir jika pertumbuhan ekonomi dapat dipacu ugal-ugalan karena batasan dan beban ekologi.
Gambar 1. Skema Ekonomi Donat dalam Ekonomi Restoratif. |
Keserakahan ekonomi ini berujung pada kerusakan alam yang fatal seperti perubahan iklim, degradasi lahan, hingga penipisan lapisan ozon. Pandangan ini secara umum turut mengkritisi model ekonomi arus utama yang hanya mengukur pertumbuhan ekonomi dari Produk Domestik Bruto (PDB), tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh terhadap keberlanjutan alam dan komunitas sosial.
Gagasan dan model ekonomi prolingkungan ini memang menjadi perdebatan dan menimbulkan pertanyaan mengenai sampai sejauh apa restorasi yang dimaksud. Sebab, tidak mungkin mengembalikan pencapaian peradaban manusia yang sudah sangat modern ini kembali ke era berburu dan bercocok tanam.
Untuk menjawab hal ini, kita bisa menengok kembali kebijakan normalisasi kali Ciliwung di Jakarta yang bisa dijadikan contoh populer kebijakan ekonomi restoratif. Program ini mengatasi banjir tahunan yang berdampak terhadap aktivitas ekonomi nasional dengan membenahi aspek lingkungan.
Baca juga beragam karya sastra di rubrik TETES EMBUN
Perbedaan Ekonomi Restoratif dengan Ekonomi Sirkular dan Regeneratif
Dalam forum akademis, ekonomi restoratif kerap dipertentangkan dengan ekonomi regeneratif. Sedangkan dalam media massa, istilah ini kalah populer dibandingkan ekonomi sirkular. Meskipun sama-sama menekankan pada keberlanjutan, ketiganya memiliki karakteristiknya tersendiri.
Ekonomi restoratif fokus pada perbaikan dan pengembalian alam ke kondisi semula. Adapun ekonomi regeneratif adalah membuat sesuatu lebih baik lagi. Artinya, regenerasi merupakan bentuk peningkatan dari restorasi atau pemulihan.
Dua pengertian ini melahirkan implikasi bahwa praktik restoratif lebih mudah digapai. Kewajiban para pemangku kepentingan hanya sebatas mengembalikan kerusakan lingkungan ke kondisi semula akibat dari kegiatan mereka.
Sementara itu, orientasi utama ekonomi sirkular adalah meminimalkan limbah dan memaksimalkan efisiensi sumber daya dengan menciptakan sistem siklus tertutup. Ini terinspirasi dari proses siklus alam agar produk dan material dapat terus digunakan kembali.
Baca juga: Jika Bumi Hancur, Kita Mau Kemana?
Tabel 1. Perbedaan Utama ekonomi Restorati, Sirkular, dan Regeneratif |
Tabel di atas menunjukkan bahwa ketiga model ekonomi memiliki karakteristik dan pendekatannya tersendiri. Perbedaan ini tidak dimaknai sebagai hal yang bertentangan, tetapi sebagai hal yang saling melengkapi dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Tetap Bisa Mendulang Keuntungan
Yang tidak kalah penting, ekonomi restoratif tetap menawarkan sejumlah potensi keuntungan ekonomis. Sebuah studi menunjukkan setiap Rp16 ribu yang diinvestasikan untuk merestorasi lahan berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi sebesar Rp112 ribu-Rp480 ribu karena pemulihan alam justru menyediakan peluang ekonomis tambahan.
Cambridge Econometrics memperkirakan setiap Rp20 ribu yang dibelanjakan untuk reboisasi membuahkan imbal balik ekonomi dan sosial senilai sekitar Rp55,8 ribu. Manfaat serupa muncul dalam upaya restorasi gambut dan rawa yang dapat memberikan manfaat balik sekitar Rp92,4 ribu dan Rp26,2 ribu.
Manfaat ekonomis yang dimaksud dapat berupa penciptaan kerja dan nilai tambah bruto. Sedangkan manfaat sosial lebih merujuk pada peningkatan kualitas air, pengurangan risiko banjir, peningkatan keanekaragam hayati, hingga pelestarian situs ekologi.
Prinsip-prinsip ekonomi restoratif dapat juga diterapkan secara praktis oleh masyarakat hingga ke level akar rumput. Sebagai contoh, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memulai gerakan ekonomi restoratif melalui inisiatif Ekonomi Nusantara.
Baca juga: Apa yang Bisa Dilakukan Institusi Pendidikan untuk Menyambut Era "Green Jobs"?
Sejak diluncurkan pada 2021, program ini telah melibatkan 199.767 kepala keluarga di 28 provinsi, termasuk Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kalimantan Timur. Walhi mendampingi pengelolaan 1,3 juta hektare lahan komunitas dari lima lanskap ekologis, mulai dari gambut hingga hutan. Sebagai hasilnya, Walhi berhasil mengidentifikasi 77 sumber pangan potensial dan memulihkan hutan di Desa Ibun, Jawa Barat, yang kini mendukung ekonomi lokal.
Prinsip ekonomi restoratif juga diterapkan di Desa Pagipu, Iwaka, Papua, melalui pengelolaan hutan sosial. Program ini melibatkan 77 perempuan dan 33 laki-laki dalam tujuh Kelompok Usaha Perhutanan Sosial untuk mengelola hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan, seperti ekowisata. Mereka juga diberi akses pelatihan bisnis, pengembangan produk, dan perizinan usaha yang didampingi oleh Yayasan Ekologi Sahul Lestari dan didanai oleh The Asia Foundation.
Dilaksanakan sejak 2022, program ini berhasil menerbitkan legalitas usaha untuk empat kelompok usaha pangan, satu kelompok anyaman, satu tanaman hias, dan satu ekowisata. Desa Pigapu kini menjadi destinasi ekowisata lokal dengan 29 pemandu wisata dan tiga di antaranya bersertifikasi.
Baca juga beragam artikel yang membahas terntang perempuan, kesetaraan gender, dan feminisme di rubrik PUAN
Negara Masih Lebih Memilih Laju Pertumbuhan Ekonomi Ketimbang Lingkungan
Masih banyak negara yang belum menunjukkan komitmen kuat terhadap upaya pemulihan dan perlindungan lingkungan. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia membuka kembali ekspor pasir laut yang telah ditutup selama 20 tahun. Kebijakan ini berpotensi merusak ekosistem pesisir dan mengancam mata pencaharian para nelayan.
Tidak hanya Indonesia yang masih lesu dalam kebijakan prolingkungan. Negara-negara maju yang sering mengampanyekan pembangunan berkelanjutan pun masih ‘maju-mundur’ dalam menerapkan inisiatif ini.
Berikut contoh-contohnya:
Jepang menghadirkan ‘solusi palsu’ untuk pensiun dini PLTU Batu Bara dengan mengembangkan teknologi co-firing serta penyimpanan dan penangkap karbon (CCS).
Inggris menunda larangan penjualan mobil berbahan bakar fosil hingga 2030.
Sebagian besar masyarakat dan elite politik di Italia, Jerman, Polandia, dan Belanda turut menunjukkan resistansi terhadap kebijakan ramah lingkungan.
Baca juga ragam tulisan di rubrik SENGGANG
Contoh ini dipertegas dengan kajian Bank Dunia yang menyatakan belum ada negara yang bisa secara efektif mengurangi emisi karbonnya sembari tetap menjaga laju pertumbuhan ekonominya. Tidak berlebihan jika penulis dan jurnalis peraih Pulitzer asal Amerika Serikat, Elizabeth Kolbert, beranggapan manusia sedang memproses kepunahannya sendiri.
Oleh karena itu, kemunculan ekonomi restoratif harus menjadi perhatian bersama. Inisiatif ini perlu diutamakan oleh pemerintah dan sektor swasta, bukan hanya organisasi lingkungan. Hanya dengan komitmen dan tindakan nyata, kita bisa mencapai keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Ditulis oleh Achmad Hanif Imaduddin, Researcher, Center of Economid and Law Studies (CELIOS)
Artikel ini tayang di salik.id berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation