Dalam menjalani
kehidupan di dunia yang penuh dengan canda, tawa, duka, nestapa, pun
nuansa-nuansa yang kadang menggemaskan dan menjengkelkan ini, seringkali diri
berharap kehidupan ini berjalan dengan mulus, syahdu, penuh keharmonisan dan
kebahagiaan.
Jika setiap orang
ditanya "Apakah Anda ingin hidup tidak bahagia dan tidak harmonis?"
Pasti jawabannya tidak.
Semua orang sangat menginginkan keharmonisan dan kebahagiaan. Dua hal tersebut merupakan pijakan dasar untuk melahirkan kententeraman batin. Bisa dikatakan, ketenteraman batin merupakan puncak pencapaian yang sangat diinginkan manusia dalam menjalani kehidupan yang begitu lucu, abstrak, absurd, paradoks, dan menggemaskan ini.
Manusia yang belum selesai dengan dirinya sendiri akan kesulitan merasakan ketenteraman batin. Terlebih jika di dalam diri masih disinggahi berbagai penyakit hati, sepertihalnya sifat pepetan.
Sifat pepetan merupakan penyakit hati yang bisa berdampak pada ketidakharmonisan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, keluarga, bahkan hubungan antara diri dengan dirinya sendiri. Sifat tersebut biasanya lahir ketika diri tidak memahami apa yang berada di dalam dan di luar kendali diri sehingga mudah sekali melahirkan rasa iri hati.
Iri hati merupakan
sebuah tanda bahwa ada masalah serius di dalam diri yang harus sesegera
diselesaikan. Tanpa disadari, sifat rasa iri akan membunuh diri sendiri di
tengah kehidupan sosial kemasyarakatan yang selalu penuh perbedaan, perubahan,
dan kompleksitas dalam segala hal.
Rasa iri hati
biasanya lahir karena sebuah keinginan akan sesuatu yang dimiliki orang lain;
memandang hidup sebagai sebuah kompetisi menang-kalah, tinggi-rendah,
mulia-hina. Selain itu disebabkan oleh kegagalan diri mengukur dan membaca
dirinya sendiri, serta inability yang
disikapi dengan negatif. Terlebih di era media sosial seperti sekarang, apabila
tidak pandai-pandai bersyukur dan mengendalikan diri, potensi rasa iri hati
akan tumbuh dengan subur tanpa disadari.
Scientific
American pada Maret 2015
menuturkan bahwa penggunaan Facebook meningkatkan depresi, terutama pada dewasa
muda. Hal tersebut dikarenakan banyak orang yang menggunakan media sosial
sebagai ajang menunjukkan atau memamerkan kehidupannya yang seakan sudah
paripurna. Unggahan tersebut secara tidak sadar akan memancing emosi yang melahirkan
sebuah pertanyaan “kenapa bukan aku yang merasakan hal tersebut? Kenapa dia
duluan yang mendapatkan itu, padahal aku duluan yang menginginkannya.; Mengapa
dia bisa mendapatkannya sedang aku berkali-kali gagal mendapatkannya.”
Penemuan scientific American tersebut menjelaskan
bahwa penurunan mood banyak disebabkan oleh rasa iri hati yang berasal
dari serapan panca indra atas apa yang ditampilkan media sosial.
Guna
mengantisipasi rasa iri hati yang berdampak pada ketidakstabilan mood, maka dibutuhkan latihan mawas
diri, latihan syukur, dan mengendalikan diri. Jika sedari dini diri tidak
melakukan latihan-latihan pengendalian diri, maka dalam segala aktivitas hidup
akan dibelenggu oleh kecemasan-kecemasan, ketakutan-ketakutan, kekecewaan, amarah,
dan sejenisnya. Apabila perasaan tersebut tak terkontrol bisa jadi berujung ngumpat dengan
keadaan, tidak menghargai diri sendiri, bahkan ngumpat pada Tuhan sebab
tidak menyadari dan mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan-Nya.
Dalam mengantisipasi
hal tersebut dan guna mewujudkan kehidupan yang harmonis, leluhur bangsa
Indonesia dari tanah Jawa mewariskan petuah sebagai bekal menjalani hidup yakni aja
metani alaning liyan. Petuah tersebut jika diri aplikasikan dalam
setiap langkah kehidupan maka bisa menjadi salah satu jalan dari sekian banyak
jalan menuju gelombang keharmonisan dan ketenteraman batin.
Petuah aja metani alaning liyan merupakan sebuah nasehat yang berupa perumpamaan. Secara bahasa, kalimat tersebut terbentuk dari kata metani yang artinya mencari kutu rambut. Kata dasarnya petan artinya mencari kutu rambut. Alaning berarti kejelekannya, kekurangannya, aibnya, atau hal yang bersifat negatif. Kata dasarnya ala artinya jelek. Kata liyan artinya lain atau pihak lain. Kata dasarnya liya artinya lain.
Metani dalam kalimat
tersebut merupakan sebuah perumpamaan. Secara umum kutu rambu merupakan hewan
yang sangat kecil berwana hitam yang hidup di rambut yang berwana hitam
(mayoritas warna rambut orang Indonesia). Tentu kutu akan sulit di cari. Dalam
mencarinya pun pasti membutuhkan skil tersendiri, ketlatenan, dan waktu yang
lumayan lama untuk mencari kutu tersebut.
Kutu rambut dalam
perumpamaan ini kurang lebih bermakan kesalahan, kejelekan, kekurangan, dan aib
orang lain. Konteks metani dalam hal
ini yakni mencari-cari, mencari sesuatu yang seharusnya tidak perlu dicari,
mencari sesuatu yang sulit di cari. Bagi orang yang bijaksana dan mampu mengendalikan
diri, mencari kesalahan orang lain merupakan suatu kegiatan yang tidak mudah di
laksanakan alias berat.
Diri dalam keadaan
sadar atau tidak sadar harus merelakan waktunya habis untuk fokus mencari
kejelekan yang berada di luar diri sendiri. Diri harus rela mengorbankan waktu
yang seharusnya bisa digunakan untuk membaca kejelekan diri sendiri. Diri harus
rela meninggalkan segala pekerjaan yang seharusnya lebih prioritas hanya untuk
memenuhi keinginan pepetan. Diri
harus dengan tegar merasa bangga ketika mampu mengetahui kejelekan, kekurangan, dan aib orang lain.
Bahkan, terkadang ada orang yang akan jauh merasa lebih bangga, puas, dan
bahagia ketika mampu mengumbar aib orang lain demi kepentingannya sendiri.
Kalimat terakhir
itu sering terjadi dalam pentas demokrasi. Bangsa yang memiliki pijakan
berbeda-beda tetapi tetap bersatu jua itu terkadang dengan sadar membuka
panggung pepetan demi sebuah kekuasaan,
ambisi, nama, dan wah yang pada dasarnya hanya fana
belaka. Begitu
menggelikan dan menggemaskan sekali ya manusia itu.
Secara
keseluruhan, aja metani alaning liyan
memiliki arti kurang lebih ‘jangan mencari-cari kesalahan, kejelekan atau aib
orang lain.’ Petuah yang dilahirkan oleh leluhur tersebut menjadi sebuah pintu
tadabur untuk mengeja masa silam dan bekal hidup di masa sekarang yang banyak
sekali melahirkan panggung pepetan.
Sebuah petuah yang begitu mendalam seperti itu pasti lahir dari sosok-sosok
yang memiliki pandangan luas dan dalam, sikap hidup yang arif dan bijak.
Leluhur yang
memberikan petuah tersebut mungkin bermaksud agar dalam menjalani hidup ini
diri harus selalu belajar mawas diri. Sifat metani
yang dihidupi dalam diri terlebih berangsur lama dalam menggemakannya akan
berdampak buruk bagi kehidupan. Petan bisa
menjadi pusara lahirnya sebuah pertengkaran dan perselisihan yang akan menjadi
penyebab ketidakharmonisan dalam hubungan bersosial, kemasyarakatan,
organisasi, berbangsan, dan bernegara. Sifat tersebut pun bisa berdampak pada hal yang jauh lebih luas, terlebih
dengan adanya media sosial yang bersifat universal dan mudah diakses
seperti sekarang ini.
Hal yang
ditakutkan dari sifat petan adalah
terjadinya pertumpahan darah. Tindakan petan yang
tak terkendali akan menyebabkan fitnah
berantai. Hal ini bisa saja terjadi karena orang yang suka petan akan merasa dirinya berhasil ketika orang lain terbawa dalam
opini yang dibangun dan ditebarkannya. Apabila orang lain turut serta membenci
orang yang dipetani lalu mereka akan
mendekat dan mengangkat derajat orang yang metani.
Kepuasan
batin seorang yang suka metani adalah
ketika orang lain tergiring, patuh, dan tunduk usai mengikuti pagelaran
pertarungan wacana yang ditaburnya.