Aku ingin menulis memoria rasa dengan sederhana,
dengan larik kata-kata yang sebenarnya tak mampu mewakili keutuhan rasa.
Aku ingin menulis pusara cinta dengan sederhana,
dengan denyut doa yang mengalir di dalam nadi setiap pecinta yang menyinggahi Mata jauh di dalam lubuk dada.
Semoga di hari
baik ini kita diberikan hidayah untuk hidup dalam perenungan jalan panjang.
Diberikan energi ketakbosanan pun ketakjenuhan dalam menyusuri setiap
pekikan-pekikan kegelisahan yang bersemayam dalam pusara kehidupan nan kian
membingungkan. Terlebih, ketika rintihan kegelisahan dibawa ke dapur rekaman,
lalu diaransemen menjadi melodi cinta (*baca: fana) yang didengung-dengungkan
pada setiap telinga.
Jika ditanya,
mungkin sebenarnya mereka sudah bosan dan jenuh mendengarkannya, tetapi
sungkan mengakuinya. Terlebih, umurnya kian menua. Harap kita waskita dan sujana namun
nyatanya nelangsa dan air mata yang selalu dipentaskan dalam
panggung akbar ini. Menggemaskan.
Semoga,
suara-suara pertapaan panjangmu menghadirkan buih cahaya dalam setiap kepala
dan jiwa, baik bagi yang akan singgah, sedang singgah, dan sudah tak
menyinggahi ruang itu namun menghidupinya di dalam rasa.
Semoga, dari itu semua akan melahirkan pejalan-pejalan yang kelak akan turut
merubah nelangsa dan air mata menjadi
waskita, sujana, tata titi tentrem karta
raharja, gemah ripah loh jinawi.
Entah, dengan cara
apa aku harus melupakanmu, jika menghidupi kenang di ruangmu adalah keindahan
yang dianugerahkan Gusti. Begitu berdustanya jika melupakan kenang yang
hakekatnya adalah gelombang perjalanan panjang pembentukan,
meski di dalam ruang itu kita belum sadar ada sebuah dentuman-dentuman
pembentukan. Begitu
berdustanya pula jika hidup di dalam sebuah ruang hanya untuk menyinggahkan
badan, numpang memajang nama, numpang mencari teman sambat, dan
tidak dihadirkan untuk berbenah dan merajut arah.
Di hari yang baik
ini, kepalaku melayang, singgah di sebuah ruang sederhana dengan kipas angin
yang sudah mulai kelelahan memberikan kesejukan dan mengurangi hawa panas pada
ruang. Kipas angin itu kini sudah lebur. Entah di mana ia kini bersemayam.
Sepasang bola mata ini sudah lama tak menjumpai perawakannya. Namun, mata hati
selalu mengamini jikalau kipas itu kini sudah bersemayam tenang dalam sebuah
ruang ingatan, keabadian.
Aku merindu kipas angin yang selalu diputar keras-keras
dengan jemari untuk melahirkan bercak keteduhan. Merindu perdebatan yang tanpa
sadar melekatkan kami dalam harmonisme kekeluargaan yang panjang ini. Terlebih,
kala senja menyapa lalu salah seorang kawan meminjam laptop yang mumpuni untuk
ngepes berjamaah atau menonton film berjamaah. Ah, alangkah meneduhkannya lagi
jika salah seorang kawan berucap “Yuh patimuranan yuh.”
Debur senyum pun bergelora. Bagaimana tidak, perut yang
keroncongan akan sesegera dibombardir oleh gorengan hasil patungan. Cacing-cacing
yang berdemonstrasi diusus kami pun akan segera diam sebab disogok oleh mendoan,
bakwan, tahu susur, dan tak luput juga rolade. Ah alangkah menggemaskannya lagi
ketika sehabis berdiskusi atau rapat, lalu duduk-duduk di depan sekre sembari
menikmati hiruk pikuk kampus yang mulai sunyi sembari menunggu azan maghrib
berkumandang. Lalu, dengan bergantian sandal kami menyusuri emperan-emperan
ruang kelas menuju masjid kampus. Usai itu dilanjut menonton film dan menikmati
mendoan di tengah semburat lilin sampai malam. Maka, nikmat mana lagi yang akan
kau dustakan?
Sialan!
Ruang sederhana
yang seringkali dijadikan tempat singgah menyemai benih-benih ide atau gagasan,
kegelisahan, kemesraan, kekeluargaan, dan tak luput juga kepiluan, kegalauan,
serta ruang pertengkaran itu pun sudah lebur. Ruang itu sudah rata dengan
tanah, tanpa sedebu pun bekas yang bisa ditatap mata. Ruang itu kini menjelma
tempat pemburuan ilmu, mungkin juga ada yang berburu gelar dan eksistensi, atau bisa jadi menjelma ruang untuk mencari senyum
bahagia orangtua.
Ah, sangat
beruntung mereka yang menyinggahi ruang baru itu dengan dalih -dari dalam
jiwanya- ingin mencari semburat senyum orangtuanya. Kenal tidak kenal, tahu
atau tidak tahu, topi tetap kuangkat. Setidaknya mereka di sana menyadari
atas sangkan paraning dumadi, meski dalam jengkal. Semoga
jengkal itu melebar menjadi bentang gelombang tanpa batas.
Ah, sialan, ini
kepala makin berkeliaran.
"Kepala, please, tolonglah
sejenak jangan berlari-lari dulu. Singgah dulu pada apa yang mau kau fokusi, kenangan. Kepala, tolong sejenak kembali ke kipas angin atau
ruang yang lebur. Sejenaklah bersamadi, melebur bersama
ruang yang sudah dileburkan itu." ujarku dengan lembut pada kepalaku yang
terkadang susah diatur dan diajak kerjasama oleh diriku sendiri.
Semoga leburnya
ruang sederhana itu bukan berarti sebuah simbolisme leburnya independensi pun
idealisme setiap penghuni yang dulu menyinggahi, yang akan singgah, dan yang
sedang singgah, atau sederhananya siapapun itu yang kini menyinggahi di ruang
yang baru. Terlebih, pada era kebingungan dan kematian manusia seperti sekarang
ini. Independensi dan idealisme adalah ruh kehidupan.
Sebuah ruang
kehidupan yang kehilangan atau menghilangkan ruhnya tak pantas lagi disebut
ruang kehidupan. Ia menjelma sebuah laboratorium pemroduksi racun, virus-virus
mematikan, dan malware-malware jiwa pun akal. Bukan kematian
fisik, bukan. Kematian fisik tidak terlalu menakutkan, itu memang sudah ada
garisnya. Namun, kematian jiwa. Ini adalah momok yang paling menakutkan dalam
ruang kehidupan. Jangan sampai ruang itu menjadi camp bangkai
berjalan.
Terlebih ruang
yang menjadi penyambung lidah. Jangan sampai mati, meski akan ada banyak
pembunuh yang mencoba mematikan dengan berbagai cara. Entah itu dari dalam atau
dari luar, baik diri sendiri atau ruang itu sendiri. Tetaplah hidup, hantam
setiap gelombang mematikan yang datang. Kalau meminjam kata Wiji Thukul, hanya
ada satu kata: Lawan!
Ah, malam ini, di serambi cangkir kopi hitam, kepalaku
melayang pada Wiji yang akan menampar kebungkaman.
Apa guna punya ilmu,
Kalau hanya untuk mengibuli.
Apa gunanya baca banyak buku,
Kalau mulut kau bungkam melulu.Di mana-mana moncong senjata,
Berdiri gagah
Kongkalikong
dengan kaum cukong.Di desa-desa
Rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah.
Apa guna punya ilmu
Kalau hanya untuk mengibuliApa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu.