Pendidikan politik sejak dini sangat penting bagi suatu negara
yang menganut asas demokrasi, dimana pemimpinnya dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum. Satu suara dalam pemilihan bernilai sama tanpa
melihat perbedaan suku, ras, agama, status sosial maupun ekonomi.
Setiap warga negara mempunyai hak memilih ketika berusia
17 tahun yang sudah dijamin oleh undang-undang. Undang-undang No. 23 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 7 menyatakan, warga
Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17
(tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Kemudian, pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 19 ayat (1) disebutkan, bahwa warga negara
Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas)
tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Aturan lain yang juga mengatur usia pemilih yakni
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 68, yakni
warga Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Artinya, remaja yang masih di bangku SMA (berusia 17 tahun) sudah bisa
datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak pilih atau
menyuarakan pilihannya.
Pada 2024, jumlah pemilih dari generasi milenial dan
generasi Z diprediksi akan mendominasi suara. Berdasar data dari daftar pemilih
tetap (DPT) pemilu serentak 2019, pemilih berusia 20 tahun mencapai 17.501.278
orang, sedangkan yang berusia 21-30 tahun sebesar 42.843.792 orang.
Dalam pemilu 2024, jumlah pemilih milenial dan generasi Z
diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 60 persen dari total suara pemilih.
Suara yang sangat berharga dalam menentukan siapa Presiden dan Wakil Presiden
yang akan memimpin bangsa yang besar dan penuh dengan kekayaan ini . Dimana
Presiden dan Wakil Presiden nantinya memiliki tugas, fungsi, dan wewenang yang
paling luas di dalam sebuah negara.
Tentu, juga untuk menentukan siapa wakil rakyat yang
benar-benar amanah, mumpuni, dan mampu mewakili rakyat secara utuh. Bukan sebatas
terpilih, menikmati kursi dan hasil pajak, lalu melupakan yang memilih dan
masyarakatnya. Beliau-beliau juga merupakan motor penggerak roda bangsa yang
besar ini menuju hari esok. Mau bangkit atau karam, mereka sangat menentukan nasib kita.
Hari ini dan seterusnya, nasib atas arah dan gerak
bahtera bernama Indonesia di samudera kehidupan yang penuh gelombang ini pun
akan terus dipertanyakan dan dipenuhi dengan berjuta harapan dari anak cucu ibu
pertiwi. Harapan besarnya, tentu bangsa Indonesia bisa kembali menjadi
macan asia atau kiblat dari langkah dunia atau tidak dengan segala kekayaan yang dimiliki.
Sayangnya generasi ini dalam menyuarakan pilihan masih
ada yang terbelenggu oleh masyarakat sekitar bahkan keluarga besar. Pembahasan
mengenai hal-hal berbau politik menjadi suatu hal yang masih tabu karena
berkonsekuensi dengan terjadinya sebuah kotak-kotak atau dinding-dinding di lingkungan
sekitarnya, bahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Open minded dan saling menghargai
pandangan orang lain adalah kunci dalam mengatasi ketabuan tersebut. Namun,
jalan membuka kesadaran menuju dua hal tersebut masih menjadi PR besar sampai
saat ini, terlebih setelah lahirnya kembali politik identitas yang sangat
memecah belah seperti yang kita alami mulai beberapa tahun belakangan.
Selain itu, generasi ini sebagian besar masih belum
merasakan dan atau menyadari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Sehingga terkadang asal
memilih dan ada pula yang berpikiran yang penting hak bersuara atau hak
memilihnya sudah digunakan. Sangat miris jika berpikiran seperti itu. Pemilu
bukan perkara sebatas menggunakan hak pilih, tetapi sebagai ikhtiar menentukan
masa depan bangsa yang besar ini.
Pendidikan politik di lingkungan keluarga, masyarakat,
dan sekolah sangat penting. Generasi ini akan menjadi garda terdepan dalam
melakukan pemilihan yang jujur dan adil, karena belum mempunyai kepentingan
apa pun. Generasi saat ini pun sangat diharapkan mampu menjadi pemilih yang
cerdas dengan tidak menerima money
politic, mudah terhasut omongan orang lain, dan terlibat politik praktis.
Mengenal sosok calon pemimpin merupakan hal sangat penting.
Bagaimana rekam jejak, profil, visi misi, janji-janji kampanye atau ketika
kelak menjadi pemimpin, merupakan suatu hal yang wajib ditelusuri, dipelajari,
dianalisis untuk menentukan siapa yang benar-benar akan dipilih dan pantas
menjadi pemimpin dan wakil rakyat bagi bangsa yang besar ini. Bukan menjadi
orang yang asal pilih dan ikut-ikutan.
Bahkan ketika nanti sudah mempertimbangkan semua hal
tersebut, bukan berarti di tengah masa kepemimpinannya beliau-beliau tidak
luput dari salah atau akan berjalan dengan baik-baik saja. Diri kita tak bisa
lepas tangan, pasrah bongkokan,
terlebih bersifat dan bersikap apatis atas perjalanan kepemimpinannya.
Pemilih yang baik dan bijaksana bukan sebatas
mempelajari, menganalisis, dan menggunakan hak pilihnya untuk memilih atau
menyuarakan pilihannya. Bukan. Namun, dalam masa kepemimpinannya –semisal yang
dipilih menjadi pemimpin, (jika tak jadi ya slow,
ndak usah ngegas atau mbesengut, apalagi
sampai saling adu fitnah, jangan sampai!)- diri juga harus berani bersuara
untuk mengkritik kebijakan-kebijakannya yang kurang bijaksana, tidak pro
rakyat, dan berani menagih janji-janjinya. Bukan lantas menjadi penjilat atau
singgah dibawah ketiak kekuasaannya dengan penuh totalitas dan penghayatan.
Bukan!
Sekali lagi, adalah tugas pemilih yang baik untuk saling mengingatkan dan menagih janji yang belum ditepati. Bukan malah mendukung apa pun kebijakan yang dilakukan meskipun kebijakannya merugikan masyarakat.
Ditulis oleh Anisatul Fuadiyah
Editor: Pemulung Rasa