Mengenal Serangan 3F | Deni Sanusi

Era sekarang ini, perkembangan kehidupan sangat cepat terjadi, baik secara individu maupun kelompok, terlebih dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Hal tersebut menjadikan diri mau tidak mau harus terus belajar agar lebih peka dengan segala yang ada, terutama lingkungan dan pengetahuan. Selain itu, harus mampu menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi.

Cepat dan pesatnya perkembangan teknologi masa sekarang, akses informasi menjadi sangat mudah didapatkan oleh masyarakat. Berbekal alat sederhana yang seringkali disebut gawai atau lebih akrab dikenal dengan nama smartphone, kita dengan mudah mampu mengetahui perkembangan dan keadaan dunia.

Era teknologi dan digitalisasi sekarang ini, gawai layaknya sebuah perangko. Ia selalu menempel erat di pergelangan tangan. Sadar atau tidak, mau mengakui atau tidak, saat ini banyak orang yang bergantung dengannya. Baik dalam bidang jasa, jual beli, memenuhi kebutuhan sehari-hari, serta hal lainnya, semua yang diinginkan kita banyak tersaji dengan rapi di sana. Bahkan saat ini pun kita sedang memegang benda ajaib yang dimaksud.

Seorang penulis Being Digital, Nicholas Negroponte memberikan sebuah pemahaman atas alat ajaib tersebut. menurutnya, di masa depan Anda mungkin dapat mengenakan di pergelangan tangan, apa yang kini di atas meja dan apa yang dahulu memenuhi ruangan.

Hal tersebut tak dapat dipungkiri, pasalnya saat ini informasi sangat mudah didapatkan dan masuk ke dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk kebudayaan atau kultur masyarakat. Tentu, semua itu tidak dapat terpisahkan dengan beragam efek baik buruknya pun ragam perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Apabila mampu memanfaatkan dengan bijak, maka akan melahirkan banyak manfaat positif. Namun, apabila tak mampu menggunakan dengan bijak dan hanya terbawa arus yang belum diri ketahui pangkal dasarnya, bisa jadi akan menjadi semacam serangan terhadap diri, bahkan terhadap kebudayaan hidup masyarakat sekitar dan umum.

Contoh pahitnya, seperti yang terjadi mulai beberapa tahun belakang kala alat ajaib ini bertumbuh pesat di tengah masyarakat. Tak lain berbagai serangan yang mungkin tidak disadari atas bahayanya, yakni serangan yang melumpuhkan kebudayaan dalam suatu wilayah pun terjadi. Hal itu dapat ditandai dengan serangan kebudayaan dengan tombak yang dikenakan terbagi menjadi tiga sektor serangan mematikan, yaitu food, fashion, dan fun (3F).

Food

Food merupakan sektor serangan pertama terhadap kebudayaan yang berkembang. Sektor ini sangat mudah masuk dan berkembang di masyarakat. Apabila sektor ini telah masuk, maka akan ada beberapa dampak yang terjadi, seperti hilangnya ciri khas, terkikisnya historis, dan hanyutnya prinsip melestarikan.

Hal tersebut terjadi ketika masyarakat lebih menggemari makanan yang berasal dari kebudayaan barat yang identik dengan junk food. Makanan khas seperti Comro, Geco, Karedok, Rujak Cingur, Pempek, Tauco, Dodongkal, Awug, dan lainnya pun terlupakan dengan perlahan dan hanya akan menjadi kenangan di ruang-ruang obrolan kala bernostalgia atas bentang ruang dan waktu yang pernah dialami.

Makanan tradisional pada dasarnya merupakan makanan turun-temurun dari leluhur dan tentu mengandung nilai sejarah dan filosofi tersendiri. Terkadang ada sebuah momentum tersendiri yang menjadikan makanan tradisional menjadi bernilai lebih di tengah suatu masyarakat.

Misalnya, makanan tradisional Thiwul dari Jawa yang juga sering disebut sebagai jajan pasar. Thiwul secara historis merupakan makanan pokok masyarakat terdahulu ketika masa penjajahan Jepang pada 1960-an. Thiwul yang dibuat dari pohung menjadi makanan pengganti nasi ketika masyarakat sangat kesusahan membeli beras yang harganya terlampau tinggi atau karena tidak adanya beras pada masa penjajahan, kala itu.

Selain Thiwul tentu ada makanan tradisional yang sangat diri rindukan dan tanpa diri tahu mungkin itu mengandung nilai historis dan filosofis tersendiri, sepertihalnya makanan-makanan tradisional yang selalu disajikan khusus dalam acara-acara hajatan seperti pernikahan, syukuran, dan sebagainya.

Pada era teknologi dan digitalisasi ini, perkara makan bukan lagi karena tubuh dan jiwa butuh disuplai energi untuk melanjutkan hidup. Sekali lagi, orang makan belum tentu karena dirinya lapar dan butuh suplai energi, tetapi bisa jadi yang lapar dan butuh suplai media sosialnya. Akun media sosialnya yang butuh asupan story, unggahan foto, reels, atau apapun itu bentuknya guna mendobrak energi eksistensi mayanya.

Tubuh butuh makanan yang mengenyangkan, menyuplai energi, dan baik untuk kesehatan. Namun, media sosial membutuhkan makanan yang eye chating terlebih dipadu dengan ruang yang estetik. Sangat berpotensi menyuplai energi tumbuk kembanganya akun yang bernama like, komen, subscribe, follow, dan share.

Oleh sebab itu, tak heran jika genre junk food yang sejak 1970-an mulai masuk Indonesia kian digemari karena eye chating dengan menampilkan warna-warna yang lebih memikat dan rasa yang lebih bervariasi. Melonjaknya penggemar junk food tentu tidak bisa terlepas dari peran media yang turut meramaikan tren makanan luar negeri dengan iklan-iklan yang dapat menggendam alias menghipnotis khalayak. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu penyebab makanan tradisional menjadi mulai luntur pesonanya di tengah masyarakat, bahkan mulai sulit ditemukan di pasar-pasar tradisional.

Pertanyaan sederhananya, bagaimana perasaan Anda ketika makanan tradisional yang merupakan bagian dari kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia ini mulai hanyut? Apa yang harus dilakukan untuk menjaga kekayaan bangsa Indonesia? Coba sejenak tanya pada hati terdalam dan pikiran terbaik Anda, apakah perlu aku (diri Anda sendiri) melestarikan makanan tradisional agar anak cucu kelak juga bisa menikmatinya bukan sebatas mendengarkan ceritanya? Dan apakah aku kelak bisa bercerita tentang makanan tradisional ketika anak cucu bertanya tentang makanan tradisional?

Fashion

Penyerang kedua dalam kancah kebudayaan bangsa ini tak lain adalah fashion. Serangan dari sektor ini akan mudah masuk dan diterima oleh masyarakat yang suka akan gaya hidup berkembang dari kebudayaan barat yang seringkali diberikan atau dibarengi dengan label gaul atau kekinian (yang lupa diri tanyakan asal muasal dan apa yang ada di balik dari wacana gaul dan kekinian tersebut). 

Fashion tersebut jauh lebih mudah masuk dan diterima lagi ketika masyarakatnya menyukai gaya hidup glamor, hura-hura, acuh terhadap sesama, individualis.

Sederhananya, dalam dunia fashion yang marak kali ini, ditambah dengan butuhnya tampilan eye chating di dunia maya dan dunia nyata, perbandingan antara pakaian adat atau tradisional dengan fashion modern di almari pun sangat jauh jumlahnya. Jika tidak percaya, silakan Anda setelah membaca artikel ini pergi ke almari pakaian yang Anda miliki lalu hitung dan renungkan.

Fun

Kesenangan merupakan serangan sektor ketiga yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Misalnya, anak-anak lebih gemar bermain game online yang tentu mempunyai dua sisi dampak, positif dan negatif. Dampak negatifnya, misalnya seorang anak yang bermain game smackdown, game yang seharusnya untuk bermain-main atau hiburan ini malah dicontoh adegannya dan parahnya malah dipraktekkan bersama rekan sebayanya. 

Selain itu, karena terlalu fokus dengan game online seseorang menjadi lebih individualis, menurun nilai sosialnya, dan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya karena sering hidup sendiri dengan gawainya di tengah perkumpulan.

Terkadang di sekeliling ada seseorang atau mungkin diri kita sendiri yang melakoninya, saat berkumpul bukannya saling asyik mengobrol bersama-sama tetapi malah asyik dengan gawainya sendiri-sendiri. Seperti istilah yang sering muncul saat ngopi bareng “Ngajaknya ngopi eh malah buka aplikasi".

Dari istilah tersebut diri kita dapat memetik makna dari apa yang digambarkan bawa kesenangan yang didapatkan bukan lagi dari sebuah momentum perkumpulan atau berkumpul bareng rekan-rekan tetapi dari aplikasi yang hanya dirinya sendiri yang menikmati di ruang itu. Kesenangan yang didapatkan saat ngopi itu bukan mengobrol dan diskusi tetapi kesenangan baru dari sebuah aplikasi. Kesenangan baru tersebut seringkali dikenal dengan sebutan phubbing.

Tanpa sadar dari contoh di atas sangat berefek panjang bagi kebudayaan hidup masyarakat, terlebih dalam hal adab, saling menghargai, menikmati momentum, sosial, dan sebagainya.

Dari gambaran serangan food, fashion, dan fun terhadap kehidupan masyarakat seperti yang digambarkan di atas, sebagai makhluk sosial diri kita harus senantiasa belajar menyaring terlebih dahulu atas apa pun yang hadir dan ada. Jangan sampai menjadi manusia yang sebatas menjadi penelan mentah atas apa yang didapatkan. Terlebih tanpa berpikir atas dampaknya.

Sederhananya, kita sebagai generasi muda harus bangga dengan apa yang dimiliki oleh bangsa ini dan harus turut berjuang melestarikan. Jangan menjadi manusia yang mudah hanyut dalam segala aliran, namun menjadi manusia yang cerdas dan bijaksana.

Ditulis oleh Deni Sanusi. Lahir dan tinggal di Cianjur, Jawa Barat. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Suryakancana. Aktif berkecimpung di Himpunan Mahasiswa PBSI, UKM Warung Apresiasi Sastra, dan BEM FKIP Universitas Suryakancana. Informasi lebih lanjut bisa ditilik di akun Instagram dan facebook Deni Sanusi.

Editor : Pemulung Rasa

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment