Persimpangan (Jalan) Hidup | Anisatul Fuadiyah

ersimpangan adalah keniscayaan dalam ujian keparipurnaan kedewasaan hidup, meski hal tersebut tiada henti sampai kelak mati. Persimpangan Jalan Hidup

Persimpangan (Jalan) Hidup

Persimpangan adalah keniscayaan dalam ujian keparipurnaan kedewasaan hidup, meski hal tersebut tiada henti sampai kelak mati.

Ketika seseorang sudah melewati usia dewasa, pasti akan mengalami berbagai persimpangan dalam mengambil suatu keputusan dalam hidupnya. Biasanya, makin usia bertambah, maka persimpangan yang dihadapi akan makin kompleks dan rumit pula. Seringkali dalam pengambilan keputusan atas arah hidup yang ingin dijalani atau ditempuh, pertimbangannya bukan lagi sebatas untuk kepentingan atau kepuasan batin diri sendiri, tetapi lebih kepada orang terdekat yang disayang.

Hal tersebut bukan berarti abai dengan diri sendiri, bukan. Namun, itu adalah sebuah ikhtiar untuk meminimalisir hal negatif yang terjadi baik di dalam pikiran, batin, maupun lahiriah. Tentu juga merupakan suatu perjuangan untuk melahirkan kebijaksanaan demi keindahan, harmonisme, dan kebaikan bersama.

Dalam pengambilan keputusan akan ada banyak perbedaan ketika sudah memasuki usia dewasa dan masa remaja. Misalnya, ketika menginjak usia SMA/SMK, hal pertama persimpangan dalam dunia akademis yang menimbulkan kegalauan yakni mengambil jurusan IPA atau IPS, otomotif atau mesin atau listrik, dan sejenisnya. Terkadang, yang menjadi bahan pertimbangan awal yakni teman-temannya, biar tetap satu geng. Mungkin dan tak dapat dipungkiri pasti juga ada beberapa yang mempertimbangkan kemampuan diri dan pekerjaan impian masa depan. Kebanyakannya, yang dipakai adalah saran dari guru atau orangtuanya.

Pengambilan suatu keputusan dengan penuh penerimaan atas segala konsekuensinya tidaklah mudah. Harus ada pembiasaan sedari dini agar seseorang bisa mengambil keputusan dan menerima segala resikonya. Sebenarnya peran orangtua sangat signifikan dalam hal ini. Salah satu kuncinya berani mencoba dan tidak takut salah atau gagal. Orangtua adalah guru pertama atas pemahaman tersebut.

Misalnya, seorang anak menginginkan menggigit cabe ketika melihat ibunya mengeluarkan belanjaan kebutuhan dapur, biasanya reflek orangtua akan bilang “jangan; awas; dan sejenisnya”. Akan lebih elok, jika orangtua dengan ekspresi silakan tetapi sambil memantau, maka kebanyakan anak tersebut akan reflek meletakkan cabe tersebut setelah gigitan pertama. Memori bahwa cabe itu pedas pun tanpa disadari sudah tertanam dan ketika melihat cabe lagi si anak tahu bahwa cabai itu pedas dan belum cocok dengan lidahnya.

Contoh lain, seorang ibu membawa sebungkus cilok yang masih panas. Ketika si anak refleks ingin menyentuh, maka setelah jemarinya menyentuh, akan refleks menjauh karena jemarinya merasakan panas. Bisa jadi ketika melihat sebungkus cilok, belum mau menyentuhnya lagi ketika masih panas.

Jadi, hal tersebut tidak mematikan rasa keingintahuan seorang anak, malah menjadikan anak makin bertumbuh. Rasa ingin tahu tersebut perlu dikembangakan. Sebab, berbekal rasa ingin tahu yang tinggi maka akan selaras dengan cara menjawab keingintahuan tersebut. Dalam berbagai cara tersebutlah, maka akan bertumbuh pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dan menjadi sebuah pemahaman.

Salah satu efeknya anak menjadi senang membaca. Membaca di sini bukan sebatas berarti membaca buku, tetapi jauh lebih kompleks, membaca keadaan, membaca rasa, membaca dengan kepekaannya, dan sebagainya.

Jika pemahaman mengenai resiko atas suatu tindakan sudah sedari dini tertanam, maka hal ini bisa menjadi pondasi pemahaman yang baik. Jika sudah menginjak dewasa dan mengalami persimpangan atas pilihan hidup, maka akan bisa lebih baik dalam memutuskannya.

Biasanya persimpangan terbesar dalam hidup yakni setelah memulai kehidupan baru atau bisa dikatakan setelah menikah. Kehidupan pernikahan berbeda dengan kehidupan sebelum-sebelumnya. Benar-benar baru dan menghadirkan banyak kejutan dalam hidup. Keputusan-keputusan penting biasa diambil dalam fase ini.

Berhenti bekerja dan memulai kehidupan baru dengan pertimbangan yang penting dekat dengan keluarga. Tetap bekerja walau jauh dari keluarga, yang penting kebutuhan ekonomi tetap terpenuhi. Toh, memulai pekerjaan baru atau bisnis baru bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan tekad yang kuat.

Membangun rumah sendiri, atau tetap ikut dengan orangtua. Ini juga kadang keputusan yang rumit, selain kadang faktor keuangan untuk membangun, juga pertimbangan penting ingin tetap menemani orangtua di masa senjanya. Terkadang juga ada yang belum berani untuk mandiri sepenuhnya, biarpun keuangan sudah mapan. Atau orangtua yang belum mau melapaskan anak tercintanya kepada orang baru yang akan menggantikan memeluknya, merawatnya, dan menjaganya.

Terlepas dari itu semua, pertimbangan kebahagiaan keluarga kecil adalah hal terpenting dalam pengambilan keputusan.

Terkadang ada celetukan di kepala, “Bukankah dalam keadaan darurat diri  harus menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu, baru bisa menyelamatkan orang lain?” Sederahana, melakukan yang terbaik dalam fase yang sedang dijalani adalah kuncinya. Maka kebahagiaan akan mengikutinya. Apapun keputusannya, ketika melakukan yang terbaik terhadap keputusan tersebut,  maka tidak ada lagi penyesalan. Dan beruntunglah orang-orang yang masih punya pilihan dalam hidup. Di luar sana banyak yang tidak punya pilihan. Terdesak keadaan. Dan Mati dalam angan.

Ditulis oleh Anisatul Fuadiyah

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment