Perjalanan Soedirman Menjadi Seorang Panglima | Kusumo

Perjalanan Jendral Soedirman menjadi seorang Panglima. Jendral Soedirman pahlawan yang dirindukan. Tentara adalah prajurit berideolog

 

Perjalanan Soedirman Menjadi Seorang Panglima

“Kamu bukanlah tentara sewaan, tetapi prajurit yang berideologi, sanggup berjuang menempuh maut untuk kelahiran tanah airmu. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau siapa pun juga.”

Pertahankan kemerdekaannya sebulat-bulatnya. Sejengkal tanah pun tidak akan kita serahkan kepada lawan, tetapi akan kita pertahankan habis-habisan. Meskipun kita tidak gentar akan gertakan lawan itu, tetapi kita harus selalu siap sedia.; Lebih baik di bom atom dari pada tidak merdeka 100%. Ingat, hendaknya, perjuangan kita harus kita dasarkan pada kesucian.”

Kata-kata Jendral Soedirman tersebut sangat menggetarkan hati. Bulu kuduk pun dibuatnya berdiri. Beliau, mengelus jiwa dengan hati. Ketulusan. Jendral Soedirman, sosok yang dirindukan kehadirannya kembali hari ini.

Jendral Besar TNI (anumerta) Seodirman merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional. Beliau memiliki peranan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ia tak pernah gentar dengan keberingasan penjajah. Ia tak pernah takut mati demi bangsa ini.

Soedirman, lahir 24 Januari 1916 di Bodas, Karangjati, Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita keturunan wedana dari Rembang. Bapaknya, Karsit Kartowiraji, seorang pekerja pabrik gula di Kalibogor.

Saat berumur delapan tahun, pribadinya lekas terbentuk menjadi lebih matang. Singkat cerita, Soedirman kecil diangkat anak oleh pamannya, Raden Cokro Sumonaryo. Beliau merupakan bangsawan, asisten wedana di Rembang. Soedirman diangkat anak setelah keluarganya pindah ke Cilacap. Soedirman kecil di sana mulai dididik selayaknya kaum bangsawan.

Soedirman selanjutnya mengenyam pendidikan di Holland Indieschool (HIS), Purworejo. HIS merupakan sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Usai lulus, beliau melanjutkan pendidikannya di Taman Siswa. Lalu, seusai dari Taman Siswa beliau melanjutkan menempuh sekolah guru di HIK Muhammadiyah Surakarta.

Kebahagiaan menempuh pendidikan itu tak berlangsung lama. Soedirman pada akhirnya tidak bisa menyelesaikan sekolahnya usai pamannya meninggal. Meski tidak lulus, beliau bisa menjadi seorang guru di HIS Muhammadiyah Cilacap.

Soedirman dikenal sebagai sosok yang aktif dalam proses belajar-mengajar dan ekstrakurikuler, seperti kepanduan Hizbul Wathan. Kemampuannya pun makin hari makin terasah. Keaktifan mengantarkan dirinya menjadi pemimpin organisasi dan instansi pendidikan. Selain itu, beliau sangat dihormati karena taat dalam menjalankan ajaran islam.

Semasa pendudukan Jepang di Indonesia, Soedirman masih aktif sebagai guru sampai titik awal kemiliterannya pada 1944. Kala itu, beliau menjabat perwakilan di dewan karesidenan yang dibentuk oleh Jepang. Tak berselang lama, Soedirman kemudian diminta oleh Jepang untuk bergabung dalam tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Beliau mendapatkan pangkat shodanco dan diangkat menjadi komandan batalion PETA di Kroya, Jawa Tengah, usai purna pelatihan PETA di Bogor.

Pasca-kemerdekaan Indonesia, Soedirman bergabung dengan tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di sana beliau terlibat dalam perang, merebut persenjataan pasukan Jepang di Banyumas. Berkat keberhasilannya tersebut dirinya menjadi Komandan Divisi V TKR Banyumas, Jawa Tengah, dengan pangkat kolonel.

Sejak berdirinya TKR pada 5 Oktober 1945 hingga satu bulan berikutnya, pemimpinnya masih dipegang oleh kepala staf, yakni Oerip Soemohardjo, Eks Mayor Tentara Belanda, Koninklijk Nederlandsch-Indische Lenger (KNIL). Pada waktu itu belum ada seorang panglima. Sedangkan di dalam tubuh TKR sendiri mulai dari perwiranya terdiri dari eks KNIL dan eks PETA. Tidak dipungkiri bahwa di dalam tubuh tersebut terdapat persaingan antara perwira eks KNIL dan eks PETA.

Berlatar kejadian tersebut, Oerip Soemohardjo pun akhirnya mengadakan rapat untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Dalam rapat itu, beliau sekaligus melakukan pemilihan panglima sebagai puncak pimpinan TKR. Tepatnya di Gondokusuman Yogyakarta, markas TKR, 12 November 1945. Di sana berkumpullah para perwira berpangkat letnan kolonel dan diatasnya atau yang sudah menjadi komandan resimen.

Dalam bursa bakal panglima TKR yang digelar, terdapat beberapa sosok yang digaungkan namanya. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Nasir (eks pelaut yang pernah bekerja di Angkatan Laut Jepang), Laksamana M. Pardi (Kepala TKR Laut), Suryadi Suryadarma (nantinya menjadi Kepala Staf Angkatan Udara), Soedirman (komandan resimen TKR Banyumas), Oerip Soemoharjo, dan Wijoyo Suryokusumo, GPH. Purwonegoro. Dari beberapa bursa nama tersebut pada akhirnya menyisakan dua nama kandidat panglima yakni Soedirman dan Oerip Soemohardjo.

Berdasar beberapa sumber, voting pemilihan Panglima TKR dimenangkan oleh Soedirman dengan perolehan 23 suara dan Oerip Soemohardjo 21 suara. Kemenangan Soedirman dalam pemilihan tersebut tidak disangka-sangka. Dalam bidang militer, Oerip Soemohardjo dianggap lebih senior dan berpengalaman ketimbang Soedirman. Kemenangan tersebut berkat enam suara dari Mohammad Noeh –perwakilan dari enam resimen TKR Sumatra, yang diberikan kepada Soedirman.

Terpilihnya Soedirman menjadi Panglima TKR tepatnya pada 12 November 1945. Namun, usai terpilih, beliau tidak langsung diangkat atau diresmikan oleh pemerintah. Pada masa itu, pemerintah pusat Republik Indonesia dikepalai oleh Perdana Menteri Soetan Sjahrir. Beliau tidak bisa langsung mempercayai Soedirman begitu saja. Beliau hati-hati. Sjahrir membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk memercayai Soedirman. Pada masa itu, kehati-hatian adalah keharusan untuk sebuah keamanan.

Hal tersebut bukanlah sebuah kendala bagi Soedirman. Beliau tetap berjalan, berjuang keras meski belum mendapatkan kepercayaan. Alhasil, karier militernya makin hari makin nampak, terutama kala beliau memimpin pertempuran besar melawan tentara Inggris dan Netherlands-Indies Civiele Administration (NICA) –Belanda. Pertempuran yang terjadi pada 11-15 Desember tersebut sampai saat ini dikenal sebagai peristiwa Palagan Ambarawa.

Peristiwa Palagan Ambarawa merupakan peristiwa perang dahsyat yang berlangsung pada masa kemerdekaan. Bermuara pada tragedi tersebut, akhirnya pemerintah pusat menjadi percaya kepada Soedirman. Sebab, Soedirman menunjukkan prestasinya dalam dunia militer dengan membawa bendera kemenangan atas pertempuran di Palagan Ambarawa. 18 Desember 1945, diangkatlah Soedirman menjadi Panglima Besar TKR dan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf TKR, jabatan satu tingkat di bawah panglima.

Panglima Besar Jendral Soedirman pun menjadi satu-satunya tokoh militer yang terpilih sebagai pimpinan TKR atau TNI yang dipilih secara demokrasi (voting). Jika menengok ke belakang, hal tersebut semestinya sulit dilakukan, terlebih situasi pada masa itu sedang dalam keadaan perang kemerdekaan. Keadaan pasti sedang genting, ruwet, semrawut, tergesa-gesa, dan keamanan negara pun belum stabil. 

Terlepas dari itu semua, sosok Panglima Besar Jendral Soedirman merupakan tokoh militer yang terkenal dan dikagumi oleh bangsa Indonesia maupun bangsa dan negara lain.

Begitulah kisah perjalanan Soedirman menjadi panglima. Sosok yang patut dijadikan suri tauladan. Sosok yang dirindukan. Sosok yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Sebagai obat rindu, berikut tuah beliau yang akan mengobati sekaligus menambah kerinduan pada sosoknya, pun membarakan bara di dalam diri kita agar senantiasa menjaga, mengasihi, merawat ibu kita tercinta, Indonesia.

“Banyak orang menyebut penderitaan mereka sebagai nasib, tetapi sesungguhnya penderitaan adalah akibat kebodohan diri mereka sendiri.”

Kepandaian yang bagaimanapun tingginya, tidak ada gunanya jika orang itu memiliki sifat menyerah. Tentara akan hidup sampai akhir zaman, tentara akan timbul dan tenggelam bersama negara.

“Tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.”

“Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, yaitu mempertahankan kedaulatan. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban itu, lagipula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh.”

Referensi: Tirto; Kompas; Republika; wikipedia; goodnewsfromindonesia; merdeka; suara.

Ditulis oleh Kusumo. Kini tengah berjuang memaknai dan menikmati makna hidup. Tinggal dan mengabdi di pakuning tanah Jawa, Magelang.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment