Ruang itu Bernama (Ke)Sunyi(an) | Pemulung Rasa

Ruang itu bernama kesunyian karya pemulung rasa. Di Gurun Pasir Tanpa Batas, Aku kehilangan Jiwaku dan menemukan Bunga Mawar Ini, Jalaludin Rumi


Rumpun kata ini adalah serakan rasa yang dipulung dari sebuah ruang yang dianggap kecil namun tidak kecil, ruang biasa-biasa saja namun tidak biasa saja. Ruang itu merupakan ruang abstrak yang tidak bisa hanya sekali eja. Terlebih hanya ketika mengeja dari "katanya, katanya, dan katanya". Sebab, jika hanya berbekal katanya, nanti yang ditemukan bukan aslinya namun semu yang (dipaksa) mengudara, kepalsuan yang dipaksa menjadi nyata, dan kebohongan yang dijelmakan kebenaran.

Rumpun kata ini pun tak lain hanya sebuah larik kekacauan pikiran dan jiwa atas bentang pandang yang digelar dalam panggung pementasan semesta. Ruang kecil itu, menghadirkan banyak pertanyaan dan renungan saban malam atas nilai yang tersembunyi di dalamnya, dalam setiap lekuk pun sisinya.

Ruang itu ibarat sebuah mutiara yang dikemas dalam sebuah kotak sederhana tanpa hiasan pita ataupun pernak-pernik lainnya. Kotak tersebut hanya dibungkus dengan kertas putih, bersih, tetapi sebagian orang juga ada yang menganggap kertas itu buram, agak kucel, dan lainnya. Namun, tak apa, semua memiliki kemerdekaan atas segala pandangan dan semua memiliki kemerdekaan mengungkapkan anggapan-anggapan. Terpenting, anggapan tersebut bukan dilatarbelakangi dan atau bermaksud menghina, mengejek, merendahkan, maupun hal yang dilatarbelakangi emosi sesaat dan negatif.

Sangat boleh orang beranggapan mengandung SARA yang melatarbelakangi dirinya atau apa yang sedang dinilai. Sebab, SARA adalah potensi terbaik dan yang menjadikan bangsa ini menjadi besar, penuh keberagamaan, dan kekayaan. SARA merupakan potensi besar bangsa ini yang patut dijunjung tinggi, dirawat, dan dilestarikan. Terlebih, SARA dijadikan bahan yang menjadikan diri kita mampu lebih jauh meleburkan diri menjadi satu kesatuan yang utuh, paseduluran, dan harmonisme, justru itu merupakan keindahan yang patut dirawat. Yang tidak boleh adalah menyinggung SARA -lain yang sedang diri nilai- terlebih mengandung nuansa atau berpotensi munculnya pikiran maupun perasaan negatif, ketidakbaikan, mengacaukan keseimbangan dan keindahan. Mau mengakui atau tidak, bangsa ini terbentuk dari SARA. 

Sudah sepantasnya kita berbicara dengan menjunjung tinggi SARA tanpa nuansa negatif yang melatarbelakanginya. Pada waktu mendatang, di tengah kebingungan manusia menentukan arahnya akan kemana, SARA adalah persinggahan yang akan mematahkan kebingungan dan memberikan mutiara ketenteraman jiwa. SARA adalah kampung halaman yang sudah mulai ditinggalkan, dilalaikan, dan kurang dilestarikan nilai dan segala bentuk potensinya. Padalah, sejatinya itu adalah potensi asli diri kita yang diberikan langsung oleh bos besar pemilik saham kehidupan. SARA adalah mutiara yang kurang dipandang.

Mutiara di sini bukan berarti sesuatu hal yang mahal secara materiil melainkan sesuatu yang bernilai tinggi. Namun, dalam hal ini aku tidak akan memaksa kalian (yang membaca) untuk mengikuti sudut pikirku. Sebab, aku menyadari jika setiap orang memiliki kemerdekaannya masing-masing dalam memilih dan menentukan sebuah penilaian. Semua orang diberikan kebebasan dalam menentukan pilihan dan penilian yang mana, semua tergantung dan sesuai dengan pencapaiannya masing-masing dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan keparadoksan, keabstrakan, dan keambiguan ini.

Setiap orang memiliki ruang penentuannya sendiri dari sudut dan sisi mana dalam melihat sesuatu guna menilai sesuatu itu sendiri. Namun, sepanjang perjalanan kehidupan, banyak sekali ruang-ruang yang menipu dan mengecoh sudut pandang. Terkadang, diri terkecoh dengan keindahan yang diwujudkan dari segi bentuk lalu melupakan esensi dan nilai yang terkandung di dalamnya. Terkadang, diri lupa jika bentuk bisa berubah bersama berjalannya waktu. Bentuk bukanlah keabadian. Bentuk atau wujud adalah kefanaan. Nilai adalah wujud dari kesejatian dan isi dari sesuatu itu sendiri. Kosong tidak selalu kosong, bisa jadi dalam kekosongan itu terdapat isi yang begitu banyak. Semua kembali kepada bentang pandang yang digelar oleh diri.

Intuisi dan logika tidak bisa bekerja sendiri-sendiri, terlebih ditumpangtindihkan. Intuisi dan logika harus bekerja sama dalam setiap sudut pandang agar diri tidak terkecoh dengan banyak hal yang digelar dalam panggung akbar pementasan kehidupan. Setidaknya dalam diri ada software pengontrol yang bekerja menyelaraskan logika dengan intuisi. Tak lain dalam perjalanan pandang agar tidak kesasar-kesasar sampai ke belantara yang jauh dari yang sedang disinggahi. Sesederhana itu. Namun, sederhana tidak selalu berarti mudah.

Ruang itu bernama (ke)sunyi(an). Bagaimana tidak. Sebab, dalam ruang itu yang hidup adalah manusia-manusia yang memasrahkan dirinya untuk menjadi pengabdi dan pelayan bagi sesama manusia. Mereka yang hidup di sana terkadang atau mungkin bahkan sering dianggap dan disebut menjadi manusia yang mengabdi untuk negara.

Lagi dan lagi itu anggapan manusia. Semua bebas beranggapan. Aku pun berhasrat untuk melontarkan beranggapan juga. Bagiku, mengabdi kepada negara adalah salah satu serpihan kecil dari niat, ketulusan, keikhlasan, dan keistikamahan seseorang yang memilih jalan hidup dan memasrahkan maupun menyedekahkan dirinya menjadi pengabdi dan berusaha menjadi pelayan yang baik bagi sesama manusia pun semesta. Sebab adanya manusia dan semesta yang menjadikan adanya sebuah negara.

Toh sejatinya diri kita ini dididik untuk menjadi pengabdi. Lha wong nabi -yang diri kita ikuti- pun diabadikan Michael H. Hart di nomor pertama dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History  itu pun ketika ditanya bos besar pemilik saham kehidupan ini jawabannya ingin menjadi ‘abdan-‘abdiyya, hamba yang menghamba, pelayan yang melayani. Beliau karena hamba dan pelayan maka menghamba dan melayani. Bukan mengajarkan menjadi manusia Mulkan-malika –ingin menjadi raja, penguasa politik maupun ekonomi.

Dalam ruang sunyi itu tidak hanya terjadi proses belajar mengajar, tetapi juga proses sinau bareng agar menjadi manusia yang seutuhnya. Tak lain, hanya berharap agar manusia yang hidup dalam ruang itu mampu memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang insani.

Ruang itu mengajarkan banyak hal. Terkadang ayat-ayat adiluhung itu tertulis dari pancaran senyum, semangat, ketulusan, dan kesungguhan dari anak-anak yang singgah dan menempa dirinya di sana. Ruang itu tidak kasat mata, terlebih jika dipandang dari sisi status sosial, penetrasi budaya akhir-akhir ini yang dihantam gelombang bernama kemajuan dan globalisasi. Belum lagi jika melihat semangat, ketulusan, perjuangan, dan keistikamahan para pamongnya yang ngemong anak-anak di sana. Jauh lebih menghadirkan getaran tersendiri. Sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Dari larik yang sudah kutulis di atas kuniatkan sebagai mukadimah dalam tulisan yang akan berkelanjutan ini. Tulisan berikutnya berjudul, Mengeja Bunga (Wijaya Kusuma) di Tengah Riuh Belantara. Tak lain, tulisan ini lahir dari sebuah kekacauan di dalam jiwa dan pikiranku kala memandang hamparan kehidupan di mayapada ini yang nampaknya begitu riuh namun sepi, begitu nampak berisi namun kosong, begitu indah namun palsu. Ruang sunyi itu seperti oase di tengah padang pasir tanpa batas.

Jika meminjam kata atau tuah Maulana Jalaludin Rumi, ruang itu adalah bunga mawar yang kutemukan.

Di gurun pasir tanpa batas, aku kehilangan jiwaku, dan menemukan bunga mawar ini. -Maulana Jalaludin Rumi-

Di tengah keriuhan itu aku melihat ada benih-benih kehidupan yang tumbuh. Harapku sesegera subur, rimbun, dan melahirkan buah-buah segar yang mengandung banyak isi yang bisa disemai kembali. Lalu ruang itu menjadi ekosistem yang berkehidupan. Ruang itu bagiku sebuah ruang penempaan diri dalam mengarungi hari yang makin riuh dan bergemuruh ini. Ruang bertapa menemukan diri sendiri. Ruang berkaca. Ruang yang menyajikan banyak bacaan atas semesta yang akan membawa diri kita akan memilih berjalan kemana.


Ditulis oleh  Pemulung Rasa. Laki-laki kelahiran Magelang yang tengah berjuang menggelandang  dan memulung rasa di jalan sunyi.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment