Nandur Srawung, Sesrawungan, dan "Kenal" | Rekki Zakkia

Semua itu dasarnya Srawung. Saling srawung, bertemu, bertegur sapa dan mencari makna kebaikan. Alasnya niat baik, tekadnya "nyedulur" menabur manfaat

Ada pepatah Jawa yang menyebutkan "Yen ora srawung, rabimu sepi, yen ora srawung ewuhmu suwung” (kalau tidak mau bergaul, maka pesta perkawinanmu sepi atau tidak ada yang datang, kalau tidak mau bergaul maka hajatmu kosong atau tidak ada yang datang). 

Tentu maksud pepatah tersebut bisa dimaknai sebagai peringatan agar orang harus mau bergaul, berinteraksi, bersosialisasi pada orang lain atau lingkungan sekitarnya. Misalnya jika ada orang hidup di lingkungan, namun ia enggan dan menutup diri serta tidak mau tahu dengan tetangganya, maka ketika dia punya hajat dipastikan tak akan ada warga sekeliling lingkungannya yang bersedia hadir membantu kerepotannya.

Ini adalah nilai etis hidup bermasyarakat yang dilanggengkan yang bisa dimaknai secara lebih luas, dalam pengertian tertentu, bagaimana nilai-nilai ini begitu diutamakan dalam etika sosiologi masyarakat kita.  

Baca juga ragam tulisan HIBERNASI lainnya

Semua itu dasarnya Srawung. Saling srawung, bertemu, bertegur sapa dan mencari makna kebaikan. Alasnya niat baik, tekadnya "nyedulur" makin erat agar menabur manfaat. Dengan srawung, silaturahmi yang tanpa batas dan keluasan pergaulan, itu akan memperkaya diri. 

Kaya akan pengetahuan, gagasan dan kaya kemajuan juga kebaruan, selain nantinya akan panen paseduluran jika laku “Nandur Srawung” dijadikan sebagai jalan hidup. Hidup menjadi berkah dan bermakna, oleh sebab banyak kemanfaatan yang akan dituai bersama.

Tentu bukan sekedar kenal mengenal thok, namun harus diikuti dengan mencari nilai tambah yang positif dari pengenalan ini. Cari apa yang baik dari orang lain, terapkan apa yang bermanfaat dari orang lain. 

Baca juga ragam tulisan SENGGANG lainnya

Apakah sekedar berhenti sampai pada kemanfaatan pada diri sendiri? Tentu juga tidak.

Sesrawungan atau nilai positif dari saling kenal adalah memadukan atau mensinergikan masing-masing kebaikan atau keunggulan dan keutamaan kebaikan yang dipunyai untuk tujuan bersama, atau tujuan yang lebih luas kemanfaatannya. Untuk kebersamaan. Untuk sesama manusia. 

Srawung dapat dikatakan sebagai media pertemuan dua orang atau lebih atau dalam ajang komunitas tertentu. Atau antarlintas komunitas.  Kini Silaturahmi.

Kemajuan teknologi digital perlahan menggerus kualitas silaturahmi dan interaksi antarmanusia. Saya tidak akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana jangkauan luasnya dunia digital dan peran pentingnya sebagai cara baru generasi sekarang dalam bersosialisasi juga sebagai sistem baru dalam cara berdaya hidup di zaman kini. 

Baca juga ragam tulisan PUAN lainnya

Itu sebuah keniscayaan. Sesuatu kemajuan yang tidak bisa kita tolak atau hindari. Sistem dan kebiasaan berubah. Dunia dilipat, dunia kini dalam genggaman. Kita semua tahu itu.

Generasi baru kita (sekarang) ini hidup dengan sistem, cara dan mekanisme baru yang berlaku dan terkoneksi secara global. Dan ini melibatkan semua dimensi sosial, ekonomi, politik, seni budaya dsb., yang semuanya terintegrasi secara digital. Sekali lagi kita tidak bisa hindari. Kita sekarang hidup di zaman itu. 

Jadi pentingnya networking atau jaringan itu apa sih? Apa semata-mata kita hanya memaknai itu secara material dan ekonomi supaya kita bisa mudah mendapatkan pekerjaan? Bagi saya bukan itu.

Ada yang bisa lebih kita maknai daripada sekelumit soal ekonomi itu. Yakni pertemuan antarinsan. Pertemuan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Saling kenal dan berinteraksi secara nyata dan mendalam. Bertukar tangkap dengan lepas secara offline, dan bertatap muka. Mata dengan mata, sapaan dan teguran yang terdengar langsung antar telinga.

Baca juga ragam tulisan CERPEN lainnya

Makna kehadiran tidak bisa diwakilkan, bahasa keintiman tubuh tidak bisa dihadirkan secara utuh dalam sebuah layar visual kecil gadget kita. Percakapan-percakapan langsung yang manusiawi, derai tawa yang terbagi, dan komunikasi insan antara hati ke hati adalah kunci, dalam laku nandur srawung lewat jalan silaturahmi. 

Karena salah satu alasan ini pula saya membangun sebuah Kedai Kopi dan Taman Baca juga sebuah Ruang Komunitas, bernama Kebun Makna di Kampung Karang Sanggrahan, Desa Plosogede, Kecamatan Ngluwar: yang memungkinkan sebagai ruang pertemuan alamiah dan perjumpaan fisik antar manusia bisa terjadi.

Baik itu “networking” jaringan baru atau bertemunya kembali kawan-kawan lama, dengan sebuah cita-cita dimana kekerabatan dan keakraban yang manusiawi itu hadir dan berfungsi kembali dalam pengertiannya yang nyata. Mengembalikan kekerabatan sebagai manusia tanpa harus bertimbang atas titel, identitas dan gelar apa pun. Sebagai manusia saja.

Baca juga ragam tulisan PUISI lainnya

Kegiatan-kegiatan seni, literasi, dan kebudayaan yang saya adakan di Kebun Makna saya harap bisa sebagai medium untuk mengembalikan kekerabatan manusia sebagai forum silaturahmi dan sesrawungan antar insan.

Betapa saling kenal-mengenal, perjumpaan melalui kehadiran, terjadinya percakapan langsung yakni keguyuban secara fisik seperti ini, yang kini kian tergerus oleh arus utama digital dan modernisasi zaman ini, bisa hadir kembali.

Saya sangat menyambut baik inisiasi anak-anak muda yang telah mengadakan acara sesrawungan semacam ini, sehingga memungkinkan terjadinya dialog gagasan yang egaliter antar individu, belajar bersama atau sinau bareng antar generasi, antar komunitas untuk mensilaturahmikan realitas kehidupan, juga belajar menghormati perbedaan prinsipil dan bertoleransi atas perbedaan gagasan dalam upaya bersama untuk penemuan-penemuan arti dan pemaknaan baru sebagai referensi hidup.

Pula dalam bidang inovasi dan gagasan di mana antarindividu dan generasi dari beragam komunitas saling berbagi ilham dan penemuan di “laboratorium” kecil yang “sama” seperti forum ini.

Panjenengan semua, penggagas acara: menggemakan semangat srawung bagi kepeloporan anak-anak muda, tentunya butuh stamina dan kekuatan. Dari lintas komunitas, di barat Magelang sana, utara Muntilan, juga bagian pusat tengahnya, serta bagian selatan, sementara saya sendiri bergabung dari timur kecamatan Salam dan Ngluwar: niat telah dibangun, jejaring disusun, semangat dihimpun.

Selanjutnya adalah perjuangan merawat-kembangkan apa yang sudah dibangun bersama selama ini. Ini jelas butuh nafas stamina yang panjang. Kekuatan batin dan ruhani serta stamina raga dan semangat akselerasi tubuh yang prima, agar apa yang kita mulai secara bersama ini menjadi karya-karya yang nyata, bagi Magelang dan Indonesia. 

Dalam masyarakat kontemporer, relasi antar manusia telah mengarah pada model masyarakat jaringan yang mensyaratkan adanya kuasa dalam hubungan sosial. Akibatnya, meski secara kultural aktor-aktor influencer yang terlibat tampak beragam, namun secara politis sebenarnya homogen dan tertutup mengingat hanya aktor yang memiliki kuasa tertentu yang boleh terlibat di dalamnya, dan mendominasi narasi maupun arus utama, terutama arus polarisasi politik.

Kita di desa, sebisa mungkin, jangan terlibat dalam arus besar narasi yang membahayakan kerukunan itu. Kekuatan-kekuatan berserak yang kita susun kembali secara individu maupun kolektif, dengan berbasis warisan pengetahuan dan kearifan dari leluhur, yang kita rajut lewat jalan konsolidasi dialog bersama ini, adalah implementasi tindakan nyata dari filosofi srawung, sesrawungan, kenal dan saling mengenali. Karena tugas manusia adalah saling kenal mengenal.

Tak hanya cukup berhenti kenal kepada sesama, namun terlebih penting untuk mengenali diri sendiri yaitu mengenali potensi tersembunyi dari diri. Sehingga masing-masing individu sadar ini akhirnya mengorganisir diri menjadi satu kekuatan kolektif yang menyebarkan nilai-nilai etis adiluhung dari alam pikir masyarakatnya. 

Tentu, sebagai generasi yang begitu jauh dari dunia keramat nenek moyang, kita akan menemui banyak kesulitan dalam memahami—sebelum kemudian mengembangkan nilai-nilai dasar etis tinggi adiluhung ini ke tingkat ilmiah, eksperimental dan material. 

Namun, dengan kerendahan hati dan ketekunan kita dalam mempelajarinya, melalui cara dialog dan menggalinya sepenuh hati seperti yang kita niati dan lakoni dalam acara diskusi sesrawungan ini, para moyang tak akan membiarkan anak cucunya terlempar jauh dari garis sejarah dan aras kebijaksanaan mereka.

Terlebih bagi para moyang, sebagaimana yang diajarkan dalam tata nilai etis laku sesrawungan yang mereka wariskan: kekerabatan yang egalitarian dan paseduluran yang rumaket merupakan tali utama dari penggalian hubungan-hubungan lainnya yang lebih luas, seperti: wilayah, tata kelola kemasyarakatan, kesejahteraan ekonomi, majunya kebudayaan, ketahanan kesehatan mental masyarakatnya dan terlebih adalah: pewarisan pengetahuan dan kearifannya. 

Sedikit demi sedikit kita akan kembali menemukannya dan tak akan terlempar jauh dari garis sejarah dan aras kebijaksanaannya. Dengan bekal srawung dan gotong royong tolong menolong, bersama-sama berbuat kebaikan untuk tujuan kemanfaatan, maka dengan sendirinya tercipta suatu keadaan kemuliaan, adiluhung bersama, bersama dalam tingginya kualitas hidup kamanungsan kita, baik pada lingkar keluarga, masyarakat, negara dan juga dunia. 

Sekian. Sruput kopinya, sedudlur-sedulur. Rahayu                              
Kebun Makna, 4 Oktober 2023

Ditulis oleh Rekki Zakkia. Seorang pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah. Owner anda Founder Kedai Kopi & Buku dan Taman Baca Kebun Makna. Founder Akar Makna Institute. Eks pemimpin redaksi jurnal Senthir, sebuah jurnal kebudayaan untuk pelajar yang terbit di Yogyakarta. Tulisannya berupa puisi, cerpen, kritik seni dan esai dapat ditemukan di beberapa media, antara lain Bernas, Horison, Senthir, Pesantren, Amok, Medan Muslim, Blocknote, Kedaulatan Rakyat, Solo Post, Lembar Bhipa, dll. Selain itu, karya-karyanya juga tercantum dalam buku antologi Horison Kaki Langit Pelajar (2002), Noktah (1998), Bengkel Sastra (1998) Pelajar mengenang Chairil (1998), Kilometer Nol (2014), Taman di Seberang Ingatan (2020). Buku Kumpulan Puisinya berjudul Matahari Sebutir Pasir diterbitkan oleh Gambang Buku Budaya, 2018. Setelah sejenak singgah di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta (FBS-UNY), sekarang bergiat di Komunitas Rumah Lebah, Akar Makna Institute, SAMAG (Sastra Magelangan), dan aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment