Untukmu Dua Buah Hatiku Karya Miftahula Rizqin Nikmatullah

Rasa itu penuh, memenuhi seluruh. Kenangan yang kutemukan tanpa sengaja di loker meja kamar, rasanya seperti sebuah warisan dan jimat paling berharga.

Ilustrasi Prasetyo/salik.id 

Sepatu yang biasa kupakai kini tak muat lagi, padahal baru dibeli sebulan lalu. Aku penasaran. Ini aneh, menurutku.

Kucoba lihat kakiku, sekilas tampak membesar, seperti tidak umum. Aneh. Namun, aku berusaha memakainya seperti biasa. Toh, aku sudah terlambat mengajar. Tak enak rasanya jika terlambat terlalu lama, nanti rasa tak karuan muncul di lubuk dada. 

Tadi, kala ingin memakai sepatu itu, aku berpikir, mungkin pandanganku yang agak kabur karena kelelahan. Namun, pikiran itu runtuh seketika. Kala di tengah pembelajaran, kakiku terasa sangat sakit dan kepalaku pun terasa pusing tak karuan. Pikiran melayang-layang. Hati pun gundah bukan kepalang.

“Ada apa ini,’ ucapku dalam batin. Riuh dan cemas bergumul menjadi satu. 

Usai mengajar, aku bercerita dengan kakak kandungku atas apa yang kualami.

“Hari ini aku tidak fokus mengajar, kakikku rasanya sangat sakit. Kakiku juga terasa berbeda, membengkak tidak wajar,” ucapku sambil menahan rasa sakit.

“Coba lihat kakimu sekarang seperti apa,” jawab kakaku. 

Aku menunjukkan kakiku. Lalu ia berkata, “Sepertinya, kamu harus segera ke dokter. Lebih baik sekarang kita ke dokter,” dan aku mengiyaannya.

Baca juga CERPEN lainnya

Kami pun sesegera bersiap ke dokter untuk periksa. Semoga keadaan baik-baik saja, harapku dalam batin. Semoga pun kulangitkan dalam diam. 

Semua itu kulakukan selama perjalanan dan sepanjang menjalani seluruh rangkaian tes. Sesampainya di tempat periksa, aku berusaha menghidup napas dalam-dalam lalu mengeluarkan perlaha, harapku kelegaan bersemayam. Pikiran negatif kutepis habis-habis. Aku ingin hidup dengan dinaungi pikiran positif. 

Namun, tibalah waktunya, perawat yang berjaga di poli memanggilku. Aku berjalan dengan penuh prasangka baik atas hasil periksa yang akan dijelaskan oleh dokter yang bertugas. Dokter mengatakan kalau hasil tesnya sudah keluar sembari mengeluarkan sebuah kertas dari lap. Saat itu pula aku kembali berusaha mengatur napasku, meski detak jantungku serasa lebih cepat dari biasanya.

Aku sangat berharap, semua semoga yang kulantunkan dalam diam itu dikabulkan dan sakit diberikan Gusti kepadaku bukanlah sebuah hal yang akan menghadirkan banyak rasa kekhawatiran, baik untuk diriku, suamiku, keluargaku, terlebih anak-anakku.

Dari seluruh rangkaian tes yang kujalani, aku dinyatakan positif mengalami gagal ginjal. Dokter pun mengkhawatirkan kondisiku. Namun, kala kalimat itu terucap, aku masih sangat tidak mempercayai bahwa kondisi itu yang kualami. Aku sangat tidak percaya. Aku berharap ini hanya mimpi belaka. Sialnya, ini adalah fakta yang harus kuterima dengan penuh kelapangan dada sembari membentangkan kidung doa mengharap Gusti akan membersamai bersama segala ke-Maha-an-Nya.

Baca juga Rekam Kebaikan karya Ramli Lahaping

“Ibu Zia, silakan duduk?” ucap dokter sembari menyilakanku dengan tangannya yang sudah membantu banyak orang.

“Terima kasih, Dok” jawabku sembari tersenyum dan bergegas duduk untuk mendengarkan hasil serangkaian tes yang sudah kujalani.

“Ibu Zia, mohon maaf sekali. Dari hasil tes yang telah dijalani, kami ingin menginformasikan, bahwa hasil tes menandakan Ibu saat ini mengindap kegagalan pada ginjal. Ibu harus dirawat di sini dan menjalani cuci darah setidaknya seminggu dua kali. Serangkaian tindakan itu tak lain untuk kebaikan kesehatan Ibu. Tindak lanjut harus segera dilakukan untuk mencegah lah yang kurang diinginkan,” tutur dokter dengan penuh kehati-hatian saat menginformasikan hasil tes yang sudah kujalani.

Sekitika perasaanku campur aduk. Dada dan kepala serasa penuh diisi oleh suatu hal yang tak pernah sedikitpun terbayangkan. Campur aduk.

“Saya tidak bisa, Dok. Saya harus tetap bekerja,’ jawabku sepontan.

“Namun, Ibu harus mendapatkan perawatan yang baik untuk kesehatan, Ibu,” tegas dokter dengan tatapan yang seolah sedang menggedor dinding keyakinanku.

“Saya tidak bisa, Dok. Saya harus bekerja. Saya masih punya dua anak laki-laki yang masih sekolah. Saya tidak bisa kalau harus dirawat inap. Siapa yang akan memberikan nafkah dan uang jajan buat mereka. Siapa yang akan memberikan uang saku buat sekolah mereka?” Tegasku.

Dokter hanya diam. Ia tak bisa mengelak. Ia menunduk sebentar dan aku mendengar napas panjang keluar dari hidungnya. Pelan-pelan ia kembali berbicara padaku untuk mengambil langkah yang baik untuk kesehatanku. 

Baca juga Selawat dan Sendal Teklek karya Pemulung Rasa

Dokter memberikan beberapa resep obat. Aku disuruh sesegera menebus biaya dan resep obat tersebut di apotek. Setelah semua selesai diurusi, aku pulang ke rumah. Wajah anak-anak menyambutku. Senyum mereka adalah energi yang selalu menghujani semangat dan penjagaan dalam setiap langkah.

Barkah, anak pertamaku. Ia wajahnya sangat mirip denganku. Begitu kata orang-orang di sekeliling kami dan aku pun juga mengakuinya. Sifat dan karakternya pun juga persis denganku.

Anak keduaku, Ilham. Sifat dan kararkternya berbeda dengan Barkah. Ia lebih mirip dengan suamiku yang pendiam. Namun, di balik diamnya ia dilimpahi rasa hangat dalam setiap waktu pun momen yang ada.

Saat aku masuk pintu rumah, Barkah baru saja pulang sekolah. Ia habis selesai ujian praktik. Rasa-rasanya, mereka tak perlu tahu terlebih dahulu apa yang baru saja terjadi. Aku tak memberitahu pada mereka. Terlebih, Akhir-akhir ini, kebiasaan kami selalu dekat. Kami sering bercerita tentang apa yang terjadi di hari yang baru saja dijalani dan lalui. Aku takut, nuansa hangat itu akan terciderai dengan perasaan yang makin tak karuan di dalam diri anak-anak. Semaian kehangatan itu ingin kurawat dengan baik-baik agar betumbuh lebat dan berbuah segar.

Baca juga Udyana dan Teratai karya Pemulung Rasa

“Assalamu’alaikum, Mi,” ucapnya dengan penuh senyum dan sorot mata yang bahagia, sembari membukakan pintu rumah.

Anak-anakku biasanya memanggilku dengan sebutan Ummi. Istilah Arab yang aku jadikan sebagai panggilan kesayangan dari anak-anakku yang juga sangat aku sayangi, cintai, pun kasihi.

“Waalaikumsalam. Loh, udah pulang ternyata. Gimana ujian praktiknya hari ini, lancar?” tanyaku sambil merapikan baju.

“Udah, Mi. Alhamdulilah hari ini lancar. Tadi praktik hafalan surah, juz 29, Al-Mulk,” jawabnya dengan sorot mata yang ditenggeri keyakinan.

“Wah! Alhamdulillah, anak Ummi pinter banget. Calon imam yang baik harus suka hafalan dan berlatih melakukan apa yang dipelajari,” jawabku sembari mengelus kepalanya.

“Iya, Ummi. Doakan Barkah, semoga bisa hafalan terus,” balasnya.

“Nak, Umi cuma bisa mewariskan hal-hal seperti itu. Semoga kamu mampu merawatnya. Ummi tidak akan pernah lupa mendoakan anak-anak Ummi, keluarga kecil kita ini,” tuturku sembari memandang wajah yang selalu menghadirkan energi tersendiri dalam melakoni hidup ini.

“Iya, Ummi. Barkah akan berusaha menjaga warisan Ummi ini,” jawabnya sembari memegang tanganku.

“Nak, kalau dihadist, Nabi mengatakan kalau ketika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya, kecuali tiga hal. Pertama, sedekah jariyah, terus ilmu yang bermanfaat, dan yang terakhir doa anak yang saleh. Itu yang tidak akan pernah terputus,” tuturku pada Barkah sembari menahan diri agar tidak mengis atas apa yang baru saja kualami.

“Begitu ya, Mi? Kalau begitu, keinginanku sekarang pengin jadi anak saleh saja. Barkah, biar bisa nyenengin Ummi. Ummi semoga sehat terus biar bisa lihat aku jadi orang sukses dan mampu menjaga warisan Ummi,” ucapnya dengan penuh senyum, lalu memelukku.

Baca juga beragam PUISI dari para penyair.

Dadaku serasa tambah sesak. Penuh. Rasanya ingin tumpah ruah, tetapi aku berusaha menahannya. 

Mataku dilimpahi kaca-kaca dan tubuhku kuhinggapkan dalam tubuh anakku dalam balut pelukan. Rasanya aku ingin bersandar di pundahnya sembari membisikkan banyak hal. Namun, itu tak mungkin kulakukan. Masih terlalu dini untuk mengatkan semuanya, terlebih ia sedang ujian praktik. 

“Hehe, Iya. Anak Ummi besuk bakalan jadi orang sukses. Ummi yakin banget. Seusai salah, setiap embus napas, dan setiap Ummi melakukan semuanya, di dalam pikiran dan hati ada kamu, adikmu, ayahmu, keluarga kita. Ummi selalu mendoakan kalian. Barkah, kamu jangan lupa jaga salat ya, Ummi, cuma pengin kamu jangan pernah tinggalin salat. Sama jangan pernah tinggalin saudaramu” ucapku dengan segala rasa yang menggebu-gebu namun kutahan dengan penuh seluruh.

“Baik, Ummi,” balasnya.

“Sekarang, mending kamu ganti baju dulu, gih,” ucapku biar segera bisa terlepas dari belenggu yang entah ini.

“Iya, Mi. Oh, iya, si Cantik kemana, Mi?” tanyanya. Matanya bergerak kesana-kemai, mencari sesuatu.

Si Cantik  ialah kucing kesayangan keluarga. Warnanya putih dengan corak hitam polkadot di tubuhnya yang mungil. Kucing yang menggemaskan. Biasanya, sejak aku pulang, kucing itu tidak pernah lepas dariku. Ia mengikutiku kemana pun aku melangkah. Saat aku rebah istirahat pun ia mengikutiku. 

Ia seringkali berbaring di sampingku, sangat dekat denganku. Nampaknya, ia lelah setelah mengikutiku kesana-kemari.

“Itu, di kolong meja. Mungkin capek. Mungkin kecapekan gegara tadi ngikutin umi. Hari ini si Cantik manja, tidak seperti biasanya.” Balasku.

Baca juga beragam buah pemikiran, penelitian, dan perenungan dari para pemikir di rubrik HIBERNASI

Seketika, pikiranku kesana-kemari. Aku seperti mengerti ada ffirasat yang begitu dalam pada kucingku. Namun, aku masih tetap berpikir bahwa ia seperti kangen padaku sebab belakangan ini aku begitu sibuk. Atau mungkin ini salah satu cara Tuhan memelukku dan memberi tahuku bahwa di sekelilingku banyak yang menyayangiku.

Pukul dua dini hari, sekitar itu aku tetiba merasa sesak napas yang begitu dahsyat. Sebelumnya aku tak pernah merasakan ini. Anak-anak dan suami seketika terbangun dan memelukku. Aku langsung diajak ke rumah sakit. 

Sembari menunggu persiapan, aku duduk di ruang tamu. Anak-anak langsung memelukku dan merengek ingin ikut ke rumah sakit. Padahal esok mereka harus tetap berangkat sekolah. Barkah harus berangkat karena sedang mengikuti ujian praktik salat jenazah dan Ilham harus ikut ujian tulis.

“Ummi, aku ikut ya? Aku takut Ummi kenapa-napa. AKu sama Ilham ikut Ummi, ya? Janji, tidak bakal bikin repot deh,” ucanya dengan mata yang berkaca-kaca sembari memegan tanganku di atas lutut.

“Ummi tidak apa-apa, Nak. Ummi baik-baik saja. Ummi cuma sesak, nanti kalau Ummi sudah diberi oksigen bakalan sembuh. Mending, kalian istirahat ya, kan besuk harus ujian. Semoga ujiannya lancar dan mendapatkan nilai yang baik,” tuturku sembari menahan sesak di dada. Aku merangkul mereka berdua dan menatapnya dalam-dalam untuk meyakinkannya.

“Iya sih, Mi. Tapi beneran tidak apa-apa?” mereka seolah tidak yakin dengan apa yang kukatakan dan memastikannya sekali lagi.

“Iya, Ummi bakalan baik-baik saja, kan ada Ayah dan kalian. Ummi sama Ayah saja ke rumah sakitnya. Kakak jagain adik ya,’ jawabku disambut dengan sedikit rasa kesal oleh suamiku, karena melihat anak-anaknya yang tidak mau tidur dan ngeyel ingin ikut ke rumah sakit.

“Sudah, kalian tidur saja. Istirahat. Toh besuk kalian masih ada ujian. Biar Ayah saja yang menemani Ummi. Istirahat ya, doain Ummi” tutur Ayah kepada anak-anaknya yang selalu dihinggapi rasa khawatir kalau urangtuanya kelihatan agak sakit atau mengalami sesuatu.

Baca juga beragam artikel tentang PEREMPUAN

*

Setelah tiba di rumah sakit, rasa sesakku makin menjadi. Dadaku penuh dan harus dipacu dengan alat. Dalam diriku hanya teringat anak-anak yang tadi merengek ingin menemaniku. Barkah dan Ilham wajahnya memenuhi kepala.

Tiba-tiba, ada bayangan putih, seperti wujud pintu. Saat aku mencoba masuk pintu itu, terdengar samar-samar suara anak-anak memanggilku. Suara itu sangat gamblang ditelingaku.

“Ummi, Ummi, Ummi. Ummi mau kemana? Ummi tidak ninggalin kami, kan?” suara itu lirih dan bergetar tetapi sangat jelas. Suara itu dihiasi dengan melodi tangis.

“Ummi tidak akan ninggalin kalian kok. Ummi hanya pergi sebentar. Nanti kita pasti ketemu lagi, Ummi yakin itu. Nanti kalau sudah di sana, minta sama Allah biar kita bertemu lagi. Ummi pasti kangen sama kalian berdua. Inget ya, Nak, jangan pernah tinggalin salat dan jadi anak yang saleh, biar bisa doain Ummi terus. Ummi yakin kalian itu kuat dan akan menjadi orang sukses. Jangan cengeng, kan kalian jagoan Ummi,” jawabku sembari menahan tangis yang begitu bengis.

“Ummi, jangan pergi ya, Ilham kan masih dua belas tahun. Bentar lagi SMP. Nanti kalau ada PR tanya ke siapa? Tanya Ilham yang mencoba tegar, padahal ia adalah orang yang mudah rapuh.

“Sudah, tenang ya, Ilham, sayang. Kan Ayah sama Kakak juga sering bantuin Ilham. Kita kan keluarga dan harus bisa saling membantu, menjaga, dan mendoakan. Inget, kalian jangan berantem ya. Ummi berangkat pergi dulu, ya. Assalamu’alaikum, jawabku sembari mencium kening kedua anakku dan perlahan aku melangkah meninggalkan merika. 

Akhirnya, aku pun pergi. Sepertinya, percakapan di ruang tamu itu adalah percakapan terakhir dengan anak-anakku. Mungkin, aku tak bisa lama-lama menahan rasa sakit yang kurasakan. Aku yakin, Tuhan sangat sayang kepadaku. Aku titipkan kepada siapapun yang membaca cerita ini untuk menjaga kedua buah hatiku.

*

Rasa itu penuh. Memenuhi dada dan kepala, seluruh. Kenangan yang kutemukan tanpa sengaja di loker meja kamar, rasa-rasanya seperti sebuah warisan dan jimat yang paling berharga. Goresan pena itu lekat di dalam ingat. Bentuk kertas dan tulisan itu akan selalu tersimpan dalam kenang.  

Sialan. Aku tak kuasa mengembara dalam lautan cintanya. Terlebih kala mencoba hidup menjadi dirinya kala masih ada untuk menuliskan cerita kerinduan yang teramat mendalam. Ibu, cintaku padamu tak terbatas oleh bentang ruang dan waktu. Aku mencintaimu dengan seluruh.

Baca juga Tantangan Ekologis: Jika Bumi Hancur Kita Mau Kemana

Ditulis oleh Miftahula Rizqin Nikmatullah, manusia biasa-biasa aja. Lahir di Jakarta, yang terkenal dengan orang-orang kapitalisnya. Kini, sedang tumbuh di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Tidar. Hobinya ngobrol dan sinaoe.
Editor: Pemulung Rasa

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment