Generasi
milenial, istilah tersebut pasti sudah tidak asing lagi ditelinga. Istilah Milenial
berasal dari kata millennials,
pencetusnya yakni pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil
Howe. Secara harfiah, tak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok
generasi ini.
Para
pakar menggolongkan Millennial generation
atau generasi Y atau generation me atau
echo boomers ini berdasarkan tahun
awal dan akhir. Penggolongan ini berkaitan dengen generasi yang lahir pada
1980-1990-an dan awal 2000-an. Ada pula yang beranggapan bahwa generasi
milenial merupakan masa dimana adanya peningkatan penggunaan media dan
teknologi digital seperti sekarang ini.
Pada
era ini banyak generasi muda yang lebih aktif di media sosial dan pasif di
lingkungan sosial. Sebagian besar dari mereka sudah mulai abai dan tak acuh
dengan lingkungannya sendiri. Hal tersebut membuktikan bahwa adanya pengaruh
negatif pada penggunaan media sosial. Contoh lain dampak negatif
perkembangan media saat ini yakni mudahnya bahasa dan budaya asing masuk lalu digunakan pada generasi milenial, sedang di sisi lain bahasa daerah atau bahasa
ibu mulai memudar dan terlupakan.
Selain
itu, pada era globalisasi ini perubahan gaya telah mempengaruhi banyak hal,
seperti gaya makan, gaya berpakaian, bahkan gaya bicara. Sebagian masyarakat
pun kini mulai berlomba-lomba untuk meniru kebiasaan asing atau barat, misalnya
dengan kecenderungan memilih makanan cepat saji dan menerapkan bahasa asing
dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang masih kental dengan budaya dan
tradisinya pun mau tidak mau harus mengikuti perkembangan zaman yang melahirkan
banyak kecanggihan ini apabila tidak ingin terisolir di tengah zaman.
Namun,
pada era globalisasi ini sadar atau tidak, mau mengakui atau tidak, bahasa
daerah sudah mulai luntur. Hal tersebut sangat gamblang dalam kehidupan
sehari-hari dimana dalam bertutur sudah agak jarang yang menggunakan bahasa ibu
atau bahasa daerahnya sendiri. Misalnya, dalam penggunaan bahasa Jawa kini
sudah mulai menurun pemakaiannya. Orang di dusun saat mengobrol dengan anaknya
yang masih balita pun sudah mulai merubah penggunaan kata “lenggah mriki, maem rien, pakpung rien” menjadi “duduk dulu, makan
dulu, mandi dulu” saat berbicara dengan anaknya.
Kondisi
semacam ini jika berlangsung terus-menerus hanya agar dianggap lebih gaul atau
modern, maka akan berdampak kurang baik terhadap kelestarian bahasa. Bukan
sebatas soal pemakaian bahasanya, tetapi penggunaan bahasa orangtua kepada
anaknya juga menjadi salah satu faktor pembentukan psikologi, kedekatan, dan
hubungan batin antara orangtua dan anak.
Ditambah
lagi banyak generasi milenial yang beranggapan bahwa bahasa daerah itu bahasa
kuno atau kampungan. Mereka merasa malu menggunakannya dan lebih suka memakai
bahasa Indonesia atau bahasa asing yang dianggap lebih modern. Menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa asing sebenarnya tidak salah karena tuntutan dunia kerja,
pendidikan, zaman, dan hubungan sosial
yang lebih luas. Namun, hal tersebut bukanlah alasan yang tepat untuk melupakan
bahasa daerah atau bahasa ibu.
Faktor
utama yang mempengaruhi pudarnya bahasa daerah bisa datang dari lingkungan
keluarga. Misalnya, orangtua selalu menggunakan bahasa nasional dalam berkomunikasi
sehari-hari pada anaknya ditambah lagi lingkungan juga menerapkan hal serupa. Tidak jarang pula orangtua
mengajarkan bahasa asing pada anak mulai dari dini dan agak abai
dengan bahasa daerah.
Di sisi lain, di lingkungan pembelajaran atau sekolah dalam penggunaan
bahasa daerah itu sendiri hanya digunakan pada saat pembelajaran bahasa lokal, misalnya pelajaran bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa lokal
lainnya sesuai dengan daerahnya. Mirisnya, jam pelajarannya pun hanya diberikan satu atau dua jam pelajaran, tentu hal tersebut
dapat mengurangi pemahaman bahasa daerah bagi siswa. Terlebih masih
sedikit yang berani mengambil kebijakan untuk menerapkan komunikasi dengan
bahasa daerah di lingkungan sekolah, misalnya satu minggu satu hari menggunakan
bahasa daerah saat berkomunikasi.
Faktor
lain yang memengaruhi pudarnya bahasa daerah juga bisa disebabkan oleh perkawinan silang yang berbeda bahasa dan daerah. Faktor tersebut mendorong mereka untuk
berkompromi dengan menggunakan bahasa nasional agar lebih mudah aplikasinya. Sangat jarang
yang mencoba mendidik anaknya untuk memahami kedua bahasa orangtuanya. Padahal
hal tersebut jika dilakukan akan berdampak sangat baik untuk tumbuh kembang
pengetahuan si anak.
Ikhtiar untuk mengantisipasi kepunahan bahasa daerah, masyarakat dan pemerintah perlu mengambil langkah dan tindakan yang tepat untuk
melestarikannya. Misalnya, pemerintah membuat kebijakan bahasa daerah sebagai mata pelajaran
wajib di sekolah dan
kampus. Memanfaatkan media televisi, radio, media masa,
media sosial untuk sosialisasi dan penggencaran penggunaan bahasa daerah yang
sekiranya menarik minat generasi milenial
Masyarakat akademisi pun harus turut berperan dalam melestarikan bahasa daerah. Misalnya berkontribusi dengan membuat karya baik esai atau buku atau jurnal dengan bahasa daerah. Bisa juga melakukan kolaborasi antara kaum akademisi atau intelektual dengan pemerintah setempat dan masyarakat untuk menyediakan taman baca yang menyajikan beragam bacaan yang membangun kesadaran atas budaya daerah dan bangsa ini. Selain itu, bisa melalui berbagai aktivitas kegiatan pentas kesenian atau pagelaran budaya. Tanpa adanya kolaborasi dari berbagai elemen dalam melestarikan bahasa dan budaya daerah, maka tidak heran jika bahasa dan budaya daerah akan berangsur luntur bersama berjalannya waktu.
*Ditulis oleh Ida Nofiana, Mahasiswa HES, UNIMMA.
Editor: Pemulung Rasa