Pandemi dan Kegelisahan Hati

Sumber Gambar : Pixabay

Pandemi yang lumayan panjang ini menghadirkan banyak sekali hal-hal yang memicu daya ngumpat dan sambat, minimal ya nggedumel. Dimulai dari kewalahan beradaptasi dengan kebiasaan hidup sehari-hari yang tetiba berubah secara totalitas. 

Kita pasti tahu kalau adaptasi tak seperti membalikkan telapak tangan dan tentunya sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan gemuruh riuh di pikiran. Belum lagi ditambah dengan melonjaknya informasi yang seliweran di grub WA yang entah sudah ditadaburi atau belum kebenarannya.  

Masa-masa seperti sekarang ini kalau tidak kuat-kuat menahan diri, baku hantam di dalam pikiran dan jiwa pun pasti akan bergelora dengan sempurna. Yang bonyok ya tentunya diri sendiri. Overtingking makin mengalir deras. Cemas memeras daya waras!

Belum lagi ketika diri dihinggapi kemangkelan, ragam kegelisahan, dan kejenuhan, lalu ingin sejenak mencari hiburan atau tips-tips mengatasi semua rasa itu di media sosial dan media massa kok ya ndelalah malah disuguhi beragam raut muka politik yang bikin huhhah-huhhah dan isu-isu kemanusiaan yang makin hari makin menggemaskan. 

Mulai dari Omnibus Law dengan segala dinamika yang hadir di baliknya, sampai dengan mural yang viral. Kok ya masih ditambah dengan pemberitaan tiga anak diperkosa ayahnya, cuit sentilan polisi se-Indonesia diganti satpam BCA, dan yang masih anget, meninggalnya mahasiswa saat mengikuti diklat Menwa. 

Daya ngumpat, sambat, dan nggedumel makin bergemuruh di dalam jiwa. Hasrat ingin berkata kasar pun tumbuh dengan apik. Sialan! Negeri ini makin hari makin penuh dengan isu-isu dan kejadian-kejadian yang menggemaskan. 

Hal-hal semacam itu terkadang memicu lahirnya pertanyaan-pertanyaan di dalam diri untuk diri sendiri. Misalnya, Apakah dengan keadaan yang makin kemari makin menggemaskan ini merupakan sebuah bentang ruang ujian terhadap diri atas sila pertama yang dihidupi bangsa ini? 

Semua pasti memiliki jawabannya masing-masing sesuai dengan keluasan pun kedalaman keilmuan dan kengelmuan setiap insan. (Tentunya, goresan tinta ini belum akan membahas hal itu.)

Di samping menjadi daya luap atas ketidakberdayaan diri terhadap situasi yang terjadi selama pandemi, terutama akhir-akhir ini dan berbagai kejadian yang menggemaskan di bangsa ini, ngumpat, sambat, dan nggedumel setidaknya menjadi sedikit ruang pelepas kemangkelan. Hal tersebut bak diri berjalan di gurun pasir tanpa batas terus nemuin genangan air. Nikmat. Lega. Plong!

Semoga saja ke depannya bangsa ini memiliki ruang ngumpat dan sambat berjamaah. Demokrasi pasti akan lebih indah. Tidak hanya sebatas kembang lambe. Iya kalau sudah sikatan, kalau belum kan bau kembangnya jadi badhek dan langu. Sungguh tidak enak sekali dan tentunya sangat-sangat memuakkan. 

Meski lambenya sudah dimodifikasi sedemikian rupa entah menjadi ceper atau makin memble dan ditambah lipstik tebal nan nyolok mata, tetap saja tidak enak. Tetap membuat diri ingin hoeks tjuh yang kental.

Dari beragam dinamika hidup semasa pandemi, tentunya banyak sekali hal yang patut direnungkan bahkan bisa dikatakan disyukuri. Pandemi membuka tabir bagaimana wajah asli para pemimpin, ketangkasan berbagai instansi dalam menghadapi ragam situasi, kedewasaan dan kebijaksanaan banyak orang terutama yang sedang berada di tempurung kekuasaan. 

Ibarat kata, biasanya kita hanya mampu memandang sebuah ruangan yang ditutupi oleh gorden dan kali ini kita menjadi mampu memandang bagaimana dan seperti apa wajah di balik gorden misterius itu.

Selain itu, diri pun sedang ditunjukkan atas ketidakberdayaan, ketidakmapuan diri yang akan membawa diri ke dalam sebuah ruang perenungan panjang atas berbagai kesombongan baik yang disadari maupun tak disadari. Pun perenungan atas rasa keakuan yang seringkali diri hidupi. 

Pandemi ini layaknya sebuah bentang ruang panjang yang mengalirkan berbagai dentuman energi, baik energi positif maupun energi negatif. Diri tinggal memilih mau menghidupi energi yang mana. Diri kita diberikan kemerdekaan atas pilihan itu.

Energi-energi yang hadir dan ada dalam bentang ruang ini pun akan mengantarkan diri berjalan menyusuri ruang-ruang werit atau sakral di dalam diri kita sendiri yang mungkin jarang atau bahkan tidak pernah sekalipun diri tapaki. Sebuah ruang yang akan membawa diri menuju diri sejati.

Semoga keadaan sesegera lekas membaik. Semoga manusia-manusia yang diberikan kekuatan menghadapi masa-masa seperti sekarang ini selalu diberikan energi positif yang akan menuntun diri menjadi manusia yang manusia, bukan sebatas bangkai berjalan. 

Ditulis oleh  Pemulung Rasa.
Laki-laki kelahiran Magelang 
yang tengah berjuang menggelandang 
dan memulung rasa di jalan sunyi.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment