Filosofi Pembebasan: Mengenang Pemikiran Karl Marx dan Relevansinya dengan Indonesia Saat Ini

Hak-hak pekerja dilemahkan, eksploitasi tenaga kerja terjadi tiap hari, mereka terjebak dalam ketidakpastian dan diperlakukan sebagai komoditas!

Nitpicker/shutterstock

Bulan Mei identik dengan perjuangan buruh atau kelas pekerja. Bulan ini dibuka dengan Hari Buruh yang diperingati setiap 1 Mei di seluruh dunia. Tak hanya itu, Karl Marx, pemikir filsafat dan ekonomi asal Jerman yang identik dengan kritiknya tentang eksploitasi kelas pekerja demi keuntungan para pemodal, pun berulang tahun pada 5 Mei.

Marx lahir pada 1818 dan wafat usia 64 tahun (1883). Pengaruh Marx dalam bidang filsafat, ilmu sosial, dan pemikiran global masih terasa hingga saat ini. Meski pemikirannya diinterpretasikan dengan berbagai cara, turunan pemikiran Marx tetaplah berfokus pada analisis kelas sosial, yang memandang sejarah masyarakat sebagai pertarungan kelas.

Pokok-Pokok Pikiran Marx

1) Filosofi Pembebasan

Marx menawarkan analisis global komprehensif tentang masyarakat dengan menganalisis kelompok borjuis pemilik modal di era Revolusi Industri pada abad ke-1800 dan arah perjalanan sejarah.

Ia membedah sejarah Eropa dan dunia untuk memahami cara kerja masyarakat dan mengidentifikasi kecenderungan yang mungkin berulang, demi memahami tindakan apa yang dapat diambil dalam dinamika politik dan ekonomi.

Tulisannya yang tersohor seperti Das Kapital, Manifesto Partai Komunis, dan “The German Ideology, menganalisis manusia sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk religius.

Baca juga Hak Pekerja Seks: Hukum Seharusnya Tidak Dibuat Berdasarkan Keyakinan Moral Pribadi

Ribuan buruh turun ke jalan memperingati hari buruh sedunia 2024 di Surabaya, Jawa Timur. Hengky Pangipho/shutterstock

Namun, Marx tidak hanya kritis terhadap kapitalisme—sistem ekonomi berorientasi profit yang menekankan kepada kepemilikan individu dan modal dalam bentuk privatisasi alat-alat produksi. Ia juga dikenal sebagai filsuf pembebasan yang membebaskan manusia dari alienasi (keterasingan). 

Dalam pemikiran Marx, konsep alienasi terutama bersifat sosial dan ekonomi dan berakar dari struktur masyarakat itu sendiri, sehingga kerap dikenal dengan sebutan alienasi ekonomi.

Dalam ekonomi kapitalis, alienasi ini terwujud dalam kondisi kerja subordinat kelas pekerja terhadap pemilik modal yang memiliki alat-alat produksi, sementara kelas pekerja menjual tenaga kerjanya sebagai salah satu bentuk komoditas.

Menurut Marx, kelas pekerja teralienasi dari hasil kerjanya karena ia bukanlah pemilik dari apa yang dihasilkan dalam siklus produksi. Pekerja kehilangan kendali atas apa yang dihasilkan dan pekerjaannya menjadi tekanan yang berulang-ulang, karena ia dipaksa bekerja demi bertahan hidup.

Eksploitasi pekerja dan dominasi kapitalisme ini pun membuat pekerja juga teralienasi secara sosial karena adanya pembagian antara kaya dan miskin serta antara mereka yang memiliki dan yang tidak memiliki.

Baca juga Puluhan Tahun Menjadi Bagian dari Indonesia, Mengapa Transformasi Digital dan Kesejahteraan di Papua Masih Jauh Tertinggal

2) Manusia adalah Roda dalam Mesin Kapitalisme

Pekerja pabrik garmen (pakaian jadi) di Bandung, Jawa Barat. Algi Febri Sugita/shutterstock

Inti pemikiran Marx adalah sejarah perjuangan kelas, yakni pembebasan dari penindasan dan eksploitasi. Dalam pandangan Marx, penindas adalah mereka yang mengeksploitasi kerja orang lain, memicu konflik konstan antara yang berkuasa dan yang dikuasai dan antara yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi.

Ia berpendapat bahwa manusia telah berubah menjadi roda dalam mesin kapitalisme. Roda ini digunakan untuk menghasilkan nilai tambah, yaitu kekayaan bagi pemilik modal sehingga berpeluang memunculkan penindasan dalam pekerjaan: satu pihak berkuasa dan yang lainnya dikuasai.

Kritik Marx berangkat dari keyakinan bahwa bekerja tidak seharusnya menjadi alat penindasan dan alienasi, tetapi sarana pembebasan. Bagi Marx, menjadi benar-benar bebas berarti memiliki pekerjaan yang tidak hanya bebas penindasan, tetapi juga memungkinkan pencapaian manusia sepenuhnya.

Baca juga Berapa Gaji Dosen? Pemetaan Kesejahteraan Akademisi di Indonesia

3) Menurut Marx, Kapitalisme itu Tidak Rasional

Demonstrasi Serikat Pekerja di Yogyakarta pada 2020, menolak Omnibus Law UU Ketenagakerjaan di Indonesia yang kontroversial. Zaki Ahmada/shutterstock.

Dari sudut pandang Marx, fakta bahwa masyarakat di belahan dunia tertentu tidak memiliki akses pangan adalah hal yang tidak masuk akal. Irasionalitas ini, menurut Marx, muncul karena kurangnya kesetaraan dan kebebasan universal. Artinya, kebebasan hanya dapat dicapai ketika setiap orang dibebaskan serta tidak lagi diasingkan dari pekerjaan dan alat-alat produksi—bisa bekerja dan bisa memiliki modal.

Marx yakin, untuk mencapai rasionalitas sejati, kita perlu menjamin kesetaraan dan kebebasan bagi semua orang, bukan hanya sebagian orang saja.

Bayangkan sebuah pabrik yang memproduksi sepatu. Para pekerja di pabrik ini menghabiskan waktu berjam-jam untuk menjahit, memotong, dan merakit sepatu, tetapi mereka hanya menerima gaji kecil sebagai imbalan atas pekerjaan mereka. Namun, nilai dari sepatu yang diproduksi jauh lebih besar daripada gaji yang mereka terima.

Pemilik pabrik, yang merupakan seorang kapitalis, menjual sepatu tersebut di pasar dan memperoleh keuntungan yang signifikan, tetapi para pekerja hanya menerima bagian kecil dari nilai tersebut.

Baca juga Genosida di Palestina: Refleksi Pentingnya Pendidikan Tinggi yang Setara, Transparan, dan Berkeadilan di Indonesia

Suasana industri rumah tangga produsen sepatu di Semarang, Jawa Tengah. Widhibek/shutterstock

Ketika para pekerja meminta kenaikan gaji, mereka mungkin akan mendapatkan sedikit tambahan uang, tetapi hal ini tidak mengubah fakta bahwa kapitalis tetap memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dari kerja mereka. Bahkan jika gaji meningkat, hubungan eksploitasi tetap tidak berubah.

Dalam perspektif Marx, solusinya berbeda. Modal dan sarana produksi tidak boleh menjadi milik eksklusif kapitalis, tetapi harus menjadi milik masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, pabrik dan sarana produksinya akan dikelola dan dimiliki bersama oleh para pekerja sendiri.

Dengan cara ini, nilai dari sepatu yang diproduksi akan didistribusikan secara adil di antara para pekerja, bukan dimonopoli oleh kapitalis. Sehingga, setiap pekerja akan menerima apa yang mereka butuhkan untuk hidup dengan baik, dan nilai pekerjaan mereka tidak lagi dieksploitasi untuk keuntungan segelintir.

Baca juga ragam pemikiran dan pandangan dari para pakar, peneliti, dosen, dan pemikir di bidangnya di rubrik HIBERNASI

4) Filsafat Harus Bersifat Teoritis dan Praktis

Aspek penting lain dari pemikiran Marx adalah penolakan terhadap konsepsi filsafat yang hanya bersifat teoretis atau hanya bersifat praktis. Bagi Marx, filsafat harus bersifat teoretis dan praktis sekaligus, karena memahami realitas adalah langkah pertama untuk mengubahnya. Filsafat Marx oleh karena itu adalah filsafat praktis, yang bertujuan tidak hanya untuk memahami realitas, tetapi juga untuk mengubahnya.

Contohnya, secara teoretis, Marx menjelaskan bahwa pekerjaan—meskipun merupakan elemen mendasar dari esensi manusia—telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Artinya, pekerjaan tidak berbeda dari barang-barang lainnya, karena pekerja menjual tenaga kerjanya sebagai imbalan atas upah.

Kemudian secara praktis, muncul seruan kepada para pekerja di seluruh dunia untuk bersatu. Seruan ini tidak terbatas pada satu negara atau jenis pekerjaan tertentu, melainkan ditujukan kepada semua pekerja di dunia. Tujuannya adalah pembebasan dari pekerjaan, karena pembebasan ini merupakan langkah menuju kondisi sosial yang lebih rasional.

Baca juga beragam karya sastra di rubrik TETES EMBUN

Relevansi Pemikiran Marx di Masa Kini

Pemikiran Marx masih relevan untuk menjelaskan fenomena yang ada saat ini. Di Indonesia, misalnya, eksploitasi tenaga kerja masih menjadi praktik sehari-hari.

Ketimpangan dan ketidakpastian pekerjaan di Indonesia sangat tinggi.

Ini juga terlihat jelas dengan hadirnya UU Cipta Kerja, yang memicu protes dari para pekerja dan serikat pekerja karena mengandung sejumlah masalah. Ini termasuk kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sewaktu-waktu, minimnya pasal perlindungan pekerja, rasa tak aman dari sistem kontrak perjanjian kerja yang terbatas waktu hingga sempat membuat kenaikan upah tahunan menjadi terendah dalam sejarah.

Langkah-langkah ini sangat melemahkan hak-hak pekerja, menjebak mereka dalam kondisi ketidakpastian yang terus-menerus di dalam pasar kerja yang memperlakukan mereka sebagai komoditas.

Ini mengingatkan kita untuk menggunakan pemikiran Marx sebagai alat dalam memahami akar permasalahannya. Meskipun ada kondisi yang memungkinkan upah yang layak dan pekerja menikmati lebih banyak kemerdekaan, kasus-kasus ini hanya minoritas. Lebih banyak yang justru mengalami eksploitasi.

Penting diingat bahwa, menurut Marx, eksploitasi tidak dapat diselesaikan hanya dengan peningkatan upah. Solusinya adalah saat pekerja tidak lagi terpaksa menghasilkan nilai tambah untuk kapitalis. Artinya, emansipasi dan kebebasan pekerja tercapai saat hasil kerja disosialisasikan dan didistribusikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing—mengikuti prinsip setiap orang menurut kemampuannya, kepada setiap orang menurut kebutuhannya.The Conversation

Baca juga Lookism dan Diskriminasi di Tempat Kerja

Ditulis oleh Aniello Ianone, Indonesianist | Researcher Kajian Kawasan dan Politik Internasional di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK) | Lecturer, Universitas Diponegoro.

Artikel ini tayang di salik.id berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.


About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment