Ruang Hijau dan Jelma Bebatuan | Rosyidatul Munawaroh

Tuhan menghidangkan sarapan pagiku dengan kabar kakek-kakek yang meninggal gegara kelaparan. Aku seketika kenyang…

“Mungkin, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, makanan pokok bangsa kita bukan lagi beras, bukan lagi nasi, apalagi gandum dan sebagainya. Makanan pokok kita adalah sebuah pil. Pil penahan lapar,” tutur seorang dosen, kala diriku masih giat belajar di bangku kuliah. 

Ungkapan itu masih sangat lekat di ingatan. Intonasi, penekanan kata, dan ekspresinya masih gamblang. Sialnya, sekarang kalimat itu berkeliaran lagi di dalam kepalaku setelah menyimak sebuah artikel berjudul Ditemukan Tewas di Rumahnya, Seorang Kakek Sebatang Diduga Mati karena Kelaparan.

Ingatan itu bergemuruh. Datang begitu saja tanpa diminta. Ia tak henti berseliweran di kepala, terus-menerus, dan makin keras berkumandang.

Kabar itu baru kuterima pagi tadi, saat menikmati secangkir teh di beranda. Tuhan menghidangkan sarapan pagiku dengan kabar kakek-kakek yang meninggal gegara kelaparan. Aku seketika kenyang. Sungguh, ini adalah sarapan yang sangat tak mengenakkan dalam sejarah hidupku. Aku dibuatnya ngilu. 

Aku pun memutuskan untuk mengajak pikiranku menyusuri lorong waktu, menyibak dalam-dalam ucapan dosenku. Ternyata, tak perlu menunggu berpuluh-puluh tahun, seperti yang pernah diucapkannya. Hari ini aku menyaksikan sendiri, pancaindraku menyerap kabar itu, sangat jelas—seseorang telah terenggut nyawanya dengan alasan yang konyol dan tak masuk akal. Terlebih di sebuah negara yang konon kail dan jala cukup menghidupimu pun tongkat kayu dan batu bisa menjadi tanaman. Namun, mengapa masih ada orang yang meninggal gegara kelaparan?

Baca juga Untukmu Dua Buah Hatiku Karya Miftahula Rizqin Nikmatullah

*

Namaku Ema. Berasal dari keluarga petani sederhana. sepulang sekolah, biasanya aku membantu Ibu membereskan rumah dan menjaga adik. Sore harinya aku sering kali diajak Bapak mencari keong di sawah untuk makan bebek-bebek peliharaan kami.

Terkadang, Ibu juga ikut. Adikku yang masih kecil Ibu titipkan kepada nenek. Kalau Ibu ikut, kami akan membawa bekal nasi, kumplit dengan lauk-pauknya. Kami menikmatinya bersama-sama, di saung—tempat biasanya para petani berteduh dan beristirahat.

Kami akan pulang setelah hasil tangkapan keongnya sudah banyak. Terkadang, Bapak juga mengajakku bermain layang-layang bersama anak-anak petani lainnya juga. Aku pulang setelah langit sudah berwarna jingga.

*

Pikiranku melalang jauh. Menemukan masa kecilku dalam deretan kata di sebuah buku diari berwarna kuning. Aku berharap, kebahagiaan itu bisa berumur panjang, agar kelak semua keturunanku bisa merasakan kebahagiaan sederhana yang telah kenyang kulahap saban hari, kala masa kecil dulu.

Baca juga CERPEN lainnya

Namun, rupanya waktu sudah mengubah banyak hal. Pada seperempat abad usiaku yang bahkan belum memasuki fase berumah tangga, apalagi mempunyai keturunan, hal-hal yang akrab dengan masa kecilku sudah hilang dalam pandangan. Aku tak pernah lagi menemukan hal itu di kehidupan anak-anak sekarang. Mereka nampaknya lebih nyenyak dininabobokkan oleh kesendirian dan gawai yang sulit lepas dari tangan.

Aku tak ingin melimpahkan tanya seluruhnya kepada anak-anak berwajah polos itu. Sebab, bagai difasilitasi. Di saat lahan-lahan hijau telah berganti fungsi menjadi gedung-gedung produksi barang-barang dagang, alat-alat digital diam-diam telah mengambil alih pengasuhan. 

Para orangtua lebih sibuk menjalankan sistem di dalam gedung-gedung besar itu. Anak-anaknya diasuh oleh orang lain atau gawai. Sebagian orangtua merasa tenang anaknya bisa diam dan bahagia dalam asuhan gawai pemberiaannya. Mereka pun bisa bekerja dengan penuh gairah tanpa gangguan rengekan. Mereka lebih takut kehilangan pekerjaan ketimbang takut anaknya diasuh oleh gawai yang terlepas dari kendalinya.

Baca juga Rekam Kebaikan karya Ramli Lahaping

Ah! Cerita di kepalaku yang tetiba datang dan terbang kesana-kemari mengingatkanku pada seorang teman. Wisnu, namanya. Kami pernah mengalami perdebatan yang lumayan alot. Seperti pertanyaan mana yang lebih dulu ada antara ayam dan telur. Dia bertanya padaku tentang mana yang lebih penting antara perusahaan industri dengan lahan persawahan.

“Kamu sendiri masih makan nasi atau makan alat-alat metal?” aku membalikkan pertanyaannya.

“Ngawur! Aku nggak mau jawab. Kamu sudah pasti tahu jawabannya apa dan aku bisa memastikan setelah itu kamu akan ngomel soal lahan, bibit, padi, pupuk, air hujan, dan sebagainya,” timpalnya dengan nada yang penuh penekanan.

“Nah, itu tahu,”

“Tapi kalau tidak ada pabrik, akan banyak sekali pengangguran di kota kita ini,” katanya lagi tak mau kalah. 

Ah, dia seperti tengah membicarakan dirinya sendiri. Saat mengucapkan kalimat itu, seragam kerjanya masih melekat erat di tubuhnya.

“Sok tahu! Memang kamu sudah melakukan penelitian? Dasar apa yang bisa dijadikan alasan pembenaran statement-mu itu?” cecarku lagi.  Aku tidak suka dengan ungkapan-ungkapan tanpa dasar, terlebih suatu hal yang memiliki dampak luas.

“Kamu hitung sendiri saja, berapa banyak warga kita yang ada di dalam sana,” balasnya.

“Semisal gedung-gedung raksasa itu tak pernah ada, mungkin mereka masih mau bercocok tanam di lahan-lahan yang mereka punya. Menghiasi pekarangan rumah dengan tanaman bunga, cabai, atau bumbu-bumbu dapur lainnya. Mereka akan tetap pergi ke pasar untuk menjual hasil panen mereka,”

“Dasar gak mau kalah!”

“Lho, menangin, dong,” kataku pura-pura merengek.

“Dasar cewek!” tandasnya, lalu cemberut.

Ketika seperti itu, aku merasa Wisnu adalah lelaki paling imut yang pernah kukenal. Setelahnya, kami akan bersama lagi. Terkadang, langsung nongkrong di warung sembari menyeruput es kelapa muda. Perdebatan pun sirna.

Baca juga Selawat dan Sendal Teklek karya Pemulung Rasa

Memang, pada akhirnya perdebatan (kami) tak pernah berumur panjang. Hanya selesai sampai di sana tanpa benar-benar tahu solusi apa yang bisa ditemukan. Kami menyadari, bahwa kami berdua ini tidak mungkin… Ralat. Mungkin aku sendiri, memprotes kebijakan-kebijakan yang telah pemerintah buat. Jikalau aku boleh berkata dan meminta, aku rindu masa kecilku yang dulu. Aku ingin ruang itu kembali. Ruang yang masih asri, penuh kesejukan, dan jauh dari kebisingan.

Sebetulnya, sentimentalku terhadap perusahaan-perusahaan itu sudah tertanam sejak di bangku sekolah. Aku sangat sebal karena beberapa kali harus mengalami terlambat masuk kelas karena terjebak macet atau diturunkan di tengah jalan dengan alasan sopir angkot harus mengangkut karyawan—yang belakangan aku tahu tarif ongkosnya lebih besar daripada anak sekolahan. Sialan!

Meski begitu, aku tak memungkiri betapa adanya pabrik-pabrik memang membuat perekonomian sekitar menjadi berkembang. Namun, jika perkembangannya hanya terjadi di sebagian golongan, semua itu sama saja, tak ada ubahnya, dan tetap buruk. 

Jika perusahaan-perusahaan itu benar-benar mampu memakmurkan kehidupan masyarakat, mengapa masih saja kasus kelaparan dan angka kriminal belum menurun sejak tahun kemarin. Dua contoh itu saja, agaknya bisa aku ajukan seandainya bisa membuka suara dengan bebas dan dijamin keamanannya.

Baca juga beragam PUISI dari para penyair.

Belum lagi kisah Pak Zaenal yang beberapa bulan belakangan sempat menjadi sorotan. Beliau seorang petani, seperti Bapak. Lahannya dulu dibeli perusahaan untuk membangun pabrik. Ia menolak pergantian lahan dengan alasan jarak dan mengambil cash dari transaksi tersebut meski mediasi yang dilakukan sangat alot. 

Aku mendengar ceritanya dari Bapak, lalu bertambah paham setelah membaca cerita kronologinya dari beragam literatur dan sumber.

Pak Zaenal sebenarnya terpaksa menjual lahan yang menjadi sumber penghasilannya. Sebab, usaianya yang sudah senja disadarinya akan berdampak pada susahnya menemukan pekerjaan baru. Dirinya sudah berulang kali mencoba membuka usaha, tetapi selalu buntung, bukan untung. Ia merugi terus.

Anak-anaknya masih kecil. Anaknya yang paling besar sering sakit-sakitan. Beliau kini sering terlihat mengemis di depan gerbang utama pabrik. Terkadang, Pak Zaenal mengemis di pasar.

Baca juga beragam buah pemikiran, penelitian, dan perenungan dari para pemikir di rubrik HIBERNASI

Hatiku seketika merasa sedih, penuh, dan sesak kala teringat kisah itu. Seperti teriris pisau bekas cabai. Namun, perasaan itu sedikit terobati karena dari kabar terbaru dirinya ditawari bekerja di rumah tetangganya sebagai pengurus kost-kostan. 

Kabar itu entah benar atau tidak, aku tak pernah tahu. Aku tak pernah lagi bertemu beliau. Pertemuan kita terjadi hanya sekali, saat beliau menjadi pedagang sayuran.

Sekarang, setelah diriuhkan dengan berita kematian, masa kecilku yang dipeluk keasrian dan ruang hijau, penderitaan, kemiskinan, dan perusahaan-perusahaan asing yang sudah terlanjur berdiri dengan gagah pun penuh kecongkakan di tengah kota kecil ini, aku merasa sangat lapar. 

Aku segera bergerak ke dapur, membuka tudung saji dan mendapati beberapa makanan enak di sana. Aku bersyukur masih bisa menemukan nasi dan sayuran hijau ini. Aku serasa dibawa pada ruang nostalgia dengan hijaunya alamku beberapa tahun silam.

Baca juga beragam artikel tentang PEREMPUAN

Ditulis oleh Rosyidatul Munawaroh, lahir dan besar di Cianjur pada dua puluh sembilan tahun yang lalu. Lulus sebagai sarjana ekonomi yang mengantarkannya pada pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur. Mempunyai hobi menulis cerita fiksi sejak 2015 dan beberapa karyanya pernah diikutsertakan pada beberapa buku antologi. Kecintaannya pada literasi, ia kini melanjutkan pendidikannya di Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Suryakancana.

Editor: Pemulung Rasa

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment