- Tanpa hubungan diplomatik, ekspor-impor Indonesia-Israel tetap tumbuh di tengah serangan ke Gaza.
- Aksi boikot masyarakat berjalan tanpa dukungan negara.
- BDS bisa jadi strategi dukungan oleh negara dan bentuk kemandirian ekonomi
Di tengah gelombang solidaritas masyarakat dunia terhadap Palestina, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya menyatakan, “ketika Palestina diakui oleh Israel, Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel, dan juga menjamin kedaulatan serta keamanan Negara Israel”. Kalimat ini sungguh rawan ditafsirkan orang sebagai justifikasi Indonesia terhadap upaya Israel melakukan pembersihan etis (ethnic cleansing) warga Palestina di Jalur Gaza.
Padahal, situasi yang kian memanas di Palestina telah memunculkan berbagai gerakan solidaritas nonkekerasan di seluruh dunia. Salah satu langkah yang banyak ditempuh oleh orang-orang Indonesia adalah BDS atau Boycott, Divestment, Sanctions–boikot produk terafiliasi Israel demi memberi tekanan untuk menghentikan penjajahan terhadap rakyat Palestina.
Penelitian BRIN pun menunjukkan bahwa, dengan dukungan fatwa MUI, aksi boikot telah mengubah perilaku konsumsi warga Indonesia. Ini sekaligus menandakan bahwa aksi boikot bukan hanya berlandaskan agama, tetapi juga gerakan sosial ekonomi yang berdampak strategis.
Sayangnya, meski teguh mendukung kemerdekaan Palestina di bebagai forum internasional, pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam menolak eksistensi Israel. Padahal, pemerintah bisa mengambil langkah konkret dan memfasilitasi warga dalam aksi damai seperti BDS.
Nikmati ragam tulisan di rubrik SENGGANG

‘Hubungan Gelap’ Indonesia-Israel
Sejak Orde Baru, Indonesia telah menjalin ‘hubungan gelap’ dengan Israel, khususnya dalam bidang militer. Salah satunya adalah pembelian 28 pesawat tempur Skyhawk dan 11 Bel-205 yang disertai dengan pelatihannya.
Sejak 1983, warga Indonesia juga bisa masuk Israel dengan paspor sipil.
Hubungan ekonomi Indonesia-Israel berlanjut hingga era Reformasi. BPS mencatat, selama 2014-2023, total nilai ekspor Indonesia-Israel mencapai sekitar US$1,4 miliar (sekitar Rp 23 triliun). Nilai itu berpuluh kali lipat lebih besar dibandingkan nilai ekspor Indonesia-Palestina hanya sekitar US$18,13 juta (sekitar Rp294 miliar).
Sementara total nilai impor kita dari Israel mencapai sekitar US$533,32 juta (Rp8,64 triliun)–sangat jauh dengan impor dari Palestina yang hanya sebesar US$9,97 juta (sekitar Rp162 miliar).
Ironisnya, ketika ethnic cleansing berlanjut, ekspor tahunan Indonesia ke Israel meningkat 10,4% menjadi US$182,97 juta (hampir Rp3 triliun) pada 2024. Tren impor dari Israel ke Indonesia juga serupa: naik drastis dari US$21,93 juta (Rp355,4 miliar) menjadi US$54,25 juta (Rp879,18 miliar) pada periode yang sama.
Selain itu, setidaknya terdapat 9 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang memasarkan 18 produk dari brand terafiliasi Zionisme, belum termasuk berbagai merek dari perusahaan multinasional lainnya. Bentuk afiliasi ini bisa berupa hubungan investasi maupun kerja sama dengan perusahaan asal Israel, operasi pabrik di tanah-tanah yang dirampas, penggunaan produk untuk menggusur permukiman rakyat Palestina, hingga terlibat dalam investasi di bidang perlengkapan militer yang dijual ke Israel.
Dengan kata lain, secara tidak langsung Indonesia berperan dalam memberi keuntungan terhadap Israel–yang bisa digunakan untuk melanggengkan penjajahan terhadap Palestina.
Nikmati ragam pemikiran dan pandangan dari para pakar, peneliti, dosen, dan pemikir di rubrik HIBERNASI

Dukungan Apa yang Bisa Diberikan Pemerintah?
Untuk bersolidaritas dengan perjuangan rakyat Palestina, pemerintah seharusnya terlibat aktif dalam melakukan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) terhadap Israel. Indonesia bisa menekankan economic statecraft—penggunaan instrumen ekonomi seperti perdagangan dan sanksi untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri.
Implementasi BDS mungkin tampak tidak rasional bagi beberapa pihak karena berpotensi menyebabkan ‘bunuh diri’ ekonomi, memantik pengurangan produksi—menyebabkan PHK massal. Dalam momentum boikot 2023, misalnya, penjualan beberapa produk yang di-blacklist masyarakat anjlok hingga 15-20%.
Namun, melalui peran pemerintah, potensi dampak buruk karena aksi BDS masih bisa dihindari, bahkan bisa memperkuat ekonomi dan industri Indonesia.
Nikmati beragam karya sastra di rubrik TETES EMBUN
Ada beberapa langkah dukungan yang bisa pemerintah tempuh:
1. Insentif Merek Lokal
Pemerintah bisa memberikan insentif ekonomi pada merek lokal untuk memantik minat masyarakat meninggalkan produk terafiliasi Zionisme. Dukungan terhadap brand lokal akan berdampak positif bagi ekonomi Indonesia karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap investasi asing dan memicu pertumbuhan lapangan kerja.
Untuk meredam risiko ekonomi, pemerintah juga bisa memberi jaring pengaman pada pekerja—bukan perusahaan—yang terdampak boikot.
2. Mencari Negara Tujuan Ekspor Baru
Dari sisi perdagangan, pemerintah mesti mencari pasar baru dan mempromosikan produk-produk yang tidak lagi diekspor ke Israel. Untuk mengurangi impor mesin, perkakas dari logam, serta mesin elektrik dari Israel, pemerintah bisa mencari mitra dagang baru, bahkan mendorong industri dalam negeri untuk mengurangi impor.
3. Melarang Investasi Perusahaan Pro-Israel
Ada juga langkah-langkah economic statecraft yang lebih ekstrem melalui mekanisme pasar, proses hukum, atau kebijakan nasional yang sah–jika pemerintah betul-betul serius ingin memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Kementerian Investasi, misalnya, bisa membuat daftar hitam perusahaan yang memiliki jejak pelanggaran HAM, terafiliasi Zionisme, dan terlibat penghancuran eksistensi Palestina. Perusahaan yang masuk daftar ini tak boleh berinvestasi di tanah air.
4. Melarang Turis Israel ke Indonesia
Pada periode 2019-2023, tercatat ada kenaikan kunjungan wisatawan Israel hingga 75% menjadi sekitar 1.400 orang, sebelum anjlok menjadi 350 orang pada 2024. Dalam memboikot hubungan dengan Israel, pemerintah juga bisa menghentikan izin masuk turis berkewarganegaraan Israel ke Indonesia. Sebagai gantinya, pemerintah juga harus menggencarkan promosi pariwisata agar lebih banyak turis dari negara lain berkunjung di Indonesia.
Langkah blacklisting perusahaan maupun individu ini bukanlah hal baru. Amerika Serikat maupun Uni Eropa melakukannya ketika berhadapan dengan kasus pelanggaran HAM.
5. Pengambilalihan Aset Perusahaan Pro-Israel
Cara lainnya adalah pengambilalihan aset perusahaan terafiliasi Zionisme oleh BUMN maupun serikat buruh.
Omar Barghouti—pendiri gerakan BDS—menjelaskan bahwa divestasi tidak hanya terbatas pada pencabutan modal, tetapi dapat mencakup akuisisi strategis terhadap aset perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran HAM atau kolonialisme. Tujuannya untuk mengakhiri legitimasi mereka dan memutus arus pendanaan, misalnya melalui pemutusan jaringan royalti waralaba atau lisensi merek.
Pengambilalihan tak hanya mengurangi pendapatan perusahaan tersebut, tapi menguntungkan BUMN ataupun buruh secara kolektif. Pengambilalihan infrastruktur produksi memberi kesempatan kita untuk transfer teknologi dan inovasi produk untuk menaikkan daya saing produk Indonesia. Yang terpenting, masyarakat tak perlu lagi memboikot.
Ada banyak cara yang bisa ditempuh pemerintah agar sejalan dengan aspirasi masyarakatnya. Persoalannya adalah seberapa serius pemerintah memperjuangkan keberadaan Palestina sebagai negara berdaulat.
Nikmati beragam artikel tentang perempuan, kesetaraan gender, dan feminisme di rubrik PUAN
Ditulis oleh Petrus Putut Pradhopo Wening, Dosen, International University Liaison Indonesia
Artikel ini tayang di salik.id berkat kerja sama ddengan The Conversation Indonesia. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.