- Zilenial memiliki kecenderungan investasi produk keuangan dan aset digital.
- Kemudahan berinvestasi melalui platform digital jadi salah satu pemupuk minat kaum muda.
- Namun, minat besar ini terhalang ketidakpahaman orangtua.
Generasi Milenial dan Z (Zilenial) bahkan Alfa hidup di era aset kripto, blockchain, dan non-fugible token (NFT) berkembang pesat hingga jadi salah satu rujukan instrumen utama investasi mereka.
Namun di sisi lain, instrumen-intrumen investasi baru ini tidak bersahabat dengan para generasi pendahulu. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang skeptis.
Di sinilah muncul paradoks zaman: anak-anak yang tumbuh di era digital memiliki pemahaman finansial yang berbeda. Dalam beberapa hal, mereka lebih maju dibandingkan generasi pendahulunya.
Namun, apakah pemahaman ini benar-benar mencerminkan literasi finansial yang sehat? Ataukah ini justru menandai jurang baru dalam pendidikan keuangan lintas generasi?
Perbedaan ini dapat memicu gesekan komunikasi dan ketidaksepahaman. Orang tua cenderung memandang kripto sebagai aset penuh risiko dan berunsur perjudian. Sementara anak-anak menganggap orang tuanya terlalu konservatif dan kurang adaptif terhadap teknologi baru.
Nikmati ragam tulisan di rubrik SENGGANG
Gap Finansial Antargenerasi
Fenomena ini juga memperlihatkan adanya financial generation gap. Sayangnya, belum banyak ruang yang mempertemukan lintas generasi untuk saling memahami dan menyamakan perspektif mereka terhadap aktivitas investasi/menabung.
Literasi keuangan tidak sekadar pemahaman cara menghitung bunga atau menyusun anggaran rumah tangga.
Makna literasi keuangan meluas hingga mencakup pemahaman produk-produk keuangan digital, risiko sistemis, regulasi yang berlaku. Literasi juga termasuk kemampuan memilah informasi yang valid di tengah banjir konten TikTok dan YouTube yang menjanjikan kekayaan instan.
Selama beberapa dekade, literasi keuangan di keluarga-keluarga Indonesia terkait dengan praktik sederhana seperti menabung di celengan, hingga mengenal perbedaan antara kebutuhan dan keinginan, serta menjauhi utang konsumtif.
Kini, aset seperti kripto, saham fraksional, dan platform DeFi (decentralized finance) telah mengubah wajah sistem keuangan dan cara para zilenial menginvestasikannya.
Nikmati ragam pemikiran dan pandangan dari para pakar, peneliti, dosen, dan pemikir di rubrik HIBERNASI
Menurut data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan, lebih dari 60% pengguna aset kripto di Indonesia berada dalam rentang usia 18 hingga 30 tahun (September 2024).
Selain itu, Bappebti mencatat total volume transaksi aset kripto pada bulan tersebut mencapai Rp33,7 triliun, meningkat sebesar 323,26% dibandingkan dengan nilai transaksi pada September 2023 yang tercatat sebesar Rp7,96 triliun.
Realisasi di atas menunjukkan bahwa aset digital telah menjadi pintu masuk finansial pertama bagi banyak anak muda, bukan lagi tabungan di bank konvensional. Perubahan ini bukan sekadar pergeseran alat, tetapi paradigma.
Anak muda kini diajak berpikir atau sekadar berminat secara alamiah tentang spekulasi, volatilitas (tingkat perubahan harga aset keuangan), risiko tinggi, dan desentralisasi sejak dini. Mereka tidak sekadar menabung; mereka “bermain” dengan fluktuasi pasar global.
Dengan kata lain, kita membutuhkan critical digital financial literacy—kemampuan untuk menavigasi ekosistem finansial digital dengan pengetahuan, etika, dan kebijaksanaan. Namun, pemahaman ini tidak bisa hadir secara instan.
Untuk mencapai literasi ini, kita memerlukan pendekatan edukasi lintas generasi yang memungkinkan orang tua dan anak bisa saling belajar. Pandangan orang tua berangkat dari kebijaksanaan finansial karena pengalaman hidup mereka, sedangkan anak terkait akses cepat ke informasi serta inovasi.
Nikmati beragam artikel tentang perempuan, kesetaraan gender, dan feminisme di rubrik PUAN
Perlunya Inisiatif untuk Saling Adaptif
Supaya Gen Z lebih semangat berinvestasi, orang tua tidak cukup hanya membatasi atau melarang anak menggunakan aplikasi kripto atau investasi daring. Sebaliknya, orang tua perlu terlibat untuk memahami teknologi dan risiko yang menyertainya.
Misalnya, alih-alih melarang anak membeli aset kripto, orang tua bisa mengajak diskusi soal dasar nilai uang, pentingnya diversifikasi, dan manajemen risiko. Bahkan, ini bisa menjadi momen belajar bersama—orang tua ikut mengeksplorasi bagaimana dompet digital bekerja, apa perbedaan antara koin dan token, atau bagaimana regulasi OJK memayungi aset kripto di Indonesia.
Sayangnya, kurikulum formal di sekolah-sekolah Indonesia belum optimal menyentuh isu literasi finansial digital. Pendidikan ekonomi sering kali masih berkutat pada teori dasar permintaan-penawaran, tanpa menjangkau realitas anak muda yang hari ini lebih mengenal Binance (bursa mata uang kripto) ketimbang bursa efek lokal.
Penting bagi lembaga pendidikan untuk segera merespons ini dengan menyesuaikan kurikulum. Misalnya, dengan memasukkan modul tentang aset digital, praktik keamanan siber dalam transaksi keuangan, dan etika dalam investasi. Pendidikan finansial tidak boleh lagi dipisahkan dari konteks digital yang melingkupi kehidupan generasi muda.
Tumbuh sebagai digital native bukan jaminan bahwa seseorang otomatis melek finansial. Akses terhadap teknologi dan informasi harus diimbangi dengan kebijaksanaan finansial yang dibentuk dari nilai-nilai, pengalaman, dan pembelajaran berkelanjutan.
Maka, tantangan kita hari ini adalah memastikan bahwa literasi keuangan tidak tertinggal oleh percepatan teknologi.
Nikmati beragam karya sastra di rubrik TETES EMBUN
Ini bukan hanya tugas guru atau regulator, tetapi juga orang tua. Keluarga menjadi ruang paling awal dan paling penting dalam membentuk kecakapan finansial yang luwes sekaligus bertanggung jawab.
Daripada saling menyalahkan, mengapa tidak saling belajar?
Alih-alih mengatakan “anak zaman sekarang terlalu nekat,” atau “orang tua ketinggalan zaman,” mari kita bangun dialog yang membumi. Perubahan memang tak bisa dihindari, tapi literasi bisa kita bentuk—dan perkuat bila kita melakukannya bersama-sama. Semua pihak, baik tua maupun muda, akan terus berada dalam fase belajar menghadapi dunia keuangan digital yang baru.
Ditulis oleh Rusydi Umar, ST., M.T., Ph.D sebagai dosen, Universitas Ahmad Dahlan
Artikel ini tayang di salik.id berkat kerja sama ddengan The Conversation Indonesia. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.