Rohana Kudus, Pejuang (Pendidikan) Perempuan dari Tanah Minang

 


"Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum perempuan." 

Rohana Kudus.

Perjuangan kaum perempuan dalam perjalanan sejarah umat manusia tidak pernah berhenti. Bisa dikatakan makin hari gerakan perempuan makin besar dan mengakar ke berbagai lapis masyarakat. Pada abad ini, bersama tumbuh kembangnya teknologi informasi yang menjadikan masyarakat mudah mengakses berbagai informasi dan bermain media sosial, para pejuang perempuan pun memanfaatkan ruang tersebut sebagai salah satu jalan pergerakannya.

Pejuang perempuan di ranah media sosial pun memanfaatkan momentum ini untuk melakukan pergerakan-pergerakan yang intens terhadap pemberdayaan diri dan pengembangan potensi kaumnya. Mereka memanfaatkan media tersebut sebagai ruang edukasi pun membongkar berbagai praktik marginalisasi, misoginis, tindak pelecehan verbal maupun non verbal, dan berbagai praktik lainnya yang merugikan kaum perempuan dan kemanusiaan.

Jika meninjau sejarah, di Minangkabau, sebuah daerah yang memiliki konsep lokal wanita sebagai Bundo Kanduang, memiliki sejarah pergerakan pemberdayaan perempuan yang patut direnungkan dan diteruskan perjuangannya di daerah-daerah lain untuk misi kemanusiaan dan kemajuan berbagai aspek kehidupan, terlebih kemanusiaan.

Rohana Kudus, sosok perempuan dari tanah Minang pengukir sejarah dan menabur benih pembebasan perempuan dari teologi bias gender. Pergerakan-pergerakannya dalam pemberdayaan perempuan di daerahnya merupakan simbolisme manifestasi perjuangan perempuan dari realita ketidakseimbangan dalam memandang perempuan itu sendiri.

Pergerakan yang dirintis oleh perempuan kelahiran Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884 tersebut dilatarbelakangi oleh kultur masyarakat pada masa itu, dimana perempuan berada dalam ranah marjinal yang sangat berlebih. Hal tersebut disebakan oleh beberapa faktor.

Pertama, Konstruksi Budaya

Pada masa itu perempuan diposisikan sebagai kaum yang hanya bergerak di ranah sentralistik domestik. Ranah ini biasanya dianekdotkan dengan sumur, dapur, dan kasur. Pembagian wilayah kerja perempuan dalam garis damagrasi tiga dimensi (sumur, dapur, Kasur) tersebut jika ditinjau lebih jauh maknanya hanya sebatas dari sisi luar atau fisik, namun belum menuju pada filosofis atau ke dalam ruang yang lebih dalam dan luas spektrumnya.

Era sekarang ini anekdot tersebut nampaknya membutuhkan pemugaran makna dan penaburan benih makna baru di dalam masyarakat agar tidak hanya dimaknai secara permukaan dan fisikal yang seringkali dijadikan bahan untuk merendahkan perempuan dan praktik penyempitan gerak hidup perempuan.

Meski hanya 'dianggap' anekdot, baik disadari atau tidak, apapun yang sering diucapkan secara berulang-ulang akan menimbulkan asumsi suatu kebenaran. Terlebih apabila pandangan masih bertapal pada sebuah anggapan apa yang diucapkan banyak orang adalah suatu kebenaran. Padahal esensi dari kebenaran itu sendiri bukan dari seberapa banyak orang yang mengucapkan dan diucapkan. Namun, kebenaran hanya akan diperoleh melalui ruang tafakur dan tadabur yang luas, dalam, dan terbuka. 

Kedua, Pemberdayaan Perempuan yang Belum Merata

Pemberdayaan yang dimaksud yakni dalam bidang pendidikan. Keterbelakangan perempuan pada masa itu disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang dimiliki kaum perempuan.  Akses memperoleh pendidikan layak yang mudah merupakan akar dari sebuah kemajuan. 

Dalam prespektif konstruksi gender, pendidikan bagi perempuan memiliki keterbatasan, mengingat pekerjaan perempuan sudah jelas sebagai ‘pelayan rumah tangga’. Hal inilah yang sering kali didengung-dengungkan, terlebih bagi sosok-sosok yang memiliki jiwa patriarkis akut. Kaum patriarkis akut akan menggunakan senjata sumur, dapur, kasur untuk membunuh langkah, gerak, dan pikiran perempuan.

Praktik kuasa yang paling menakutkan bukanlah praktik kuasa melalui fisik, namun melalui sebuah wacana yang terus didengung-dengungkan (kata).

Di Minangkabau, pada masa itu pergerakan perempuan diawali dengan edukasi dan pemberdayaan perempuan oleh perempuan itu sendiri. Tokoh perempuan Minangkabau yang menyemai pergerakan pendidikan yakni Rahmah El-Yunusiah dan Rohana Kudus. Masing-masing memiliki institusi pendidikan khusus untuk perempuan yang dibangun mandiri.

Ditinjau dari sosiologi historis, institusi pendidikan yang dirintis oleh kaum perempuan tersebut merupakan simbol perjuangan dan perlawanan kaum perempuan dari ketidakadilan budaya. Ketidakadilan tersebut lahir dari prespektif yang tidak seimbang dalam memandang perempuan sebagai komunitas yang memiliki sumber daya manusia.

Perempuan dipandang hanya sebatas dari sisi biologis dengan karakteristik-karakteristik tertentu yang vulgaristik. Hal tersebut yang menjadi titik pijak pembagian wilayah kerja perempuan dalam garis damagrasi tiga dimensi. Hal tersebut sangat gamblang menunjukkan terjadinya ketidakadilan sosial kultural terhadap kaum perempuan.

Pergerakan perempuan pada dasarnya yakni sebuah usaha untuk melepaskan perempuan dari stigma-stigma tersebut, penindasan, dan perjuangan untuk memanusiakan manusia agar menjadi manusia seutuhnya.

Rohana Kudus, sosok yang lahir dari buah cinta Muhammad Rasyad Maharaja Sutan yang berprofesi sebagai jurnalis dan Kiam, perempuan biasa seperti kaum perempuan pada masa itu, sudah mulai melakukan pergerakan sedari masih kecil. Rohana kecil sudah rajin membaca dan belajar sendiri. Ayahnya sangat senang melihat putri kecilnya yang rajin, lantas beliau sengaja berlangganan surat kabar terbitan Medan ‘Berita Kecil’ untuk melengkapi bacaannya.

Berkat rajin membaca dan belajar sendiri, Rohana menjadi guru bagi teman-temannya. Setiap hari, Rohana berkumpul dengan teman-temannya –laki-laki dan perempuan- di teras rumahnya untuk mengajari membaca. Melihat aktivitas positif tersebut, ayahnya dengan senang hati membantu kegiatan Rohana dengan membelikan beragam alat tulis yang dibagikan secara gratis untuk kegunaan belajar bersama.

Rohana kecil sudah membuka sekolah gratis dan terbuka di Talu, daerah tempat ayahnya bekerja (1892).

Tamara Djaya menulis tentang ilmu yang diajarkan Bu Guru Kecil itu, 'Apa ilmu yang ada padanya, ditumpahkannya kepada murid-muridnya, tulis baca, mengaji Al-Qur’an, masak-memasak juga bahkan jahit menjahit.'

Selama empat tahun di Talu, ia mengajar anak-anak sebayanya dengan keilmuan yang dimilikinya secara sukarela dan senang hati. Ia tidak pernah mengeluh dan merasa bosan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, tidak ada perempuan berusia 10 tahun di masa itu yang memiliki sekaligus mendirikan sendiri sekolah terbuka. Hanya Rohana yang membuka sekolah pada umur 10 tahun.

Selain itu, Rohana kecil memiliki kesukaan membacakan surat kabar dimuka umum, di depan orang banyak, orang tua-tua dan cerdik pandai. Setiap sore ia pergi ke tempat dimana banyak orang berkumpul, lalu membacakan surat kabar kepada mereka dengan suaranya yang nyaring. Orang-orang tertarik atas kelincahannya. Ia pun selalu mendapatkan pujian dengan sendirinya.

Apa yang dilakukannya di Talu itu berangkat dari apa yang didapatkannya di Alahan Panjang. Pada umur enam tahun ia sempat dijadikan anak angkat oleh Jaksa Alahan Panjang. Pada masa itu Rohana mendapatkan pendidikan agama dan keterampilan dari istrinya. Rohana bisa membaca dan mengalahkan situasi pendidikan yang masih sangat terbelakang di Alahan Panjang berkat pendidikan yang diberikan ibu angkatnya. Kala itu, belum ada sekolah dan lembaga pendidikan untuk rakyat.

Waktu itu di Alahan Panjang belum ada sekolah rakyat, belum ada anak-anak bersekolah. Setiap waktu, Rohana membaca dengan suara yang lantang, kadang-kadang melengking. Ia asyik dengan dunianya itu. Buku-buku yang ada di rumah habis dibacanya karena ia rajin membaca. Ia pun menjadi mudah mengerti dan memahami sesuatu melebihi rekan-rekan seusianya di sana. 

Pada 1982, Rohana meninggalkan Alahan Panjang. Ia ikut ayahnya yang pindah bekerja ke Simpang Tonang Talu Pasaman. Ketika Rohana berusia tujuh belas tahun (1987) ibunya meninggal alu ayahnya menikah lagi dengan Rabiah, seorang anak Jaksa di Bonjol. Rabiah adalah ibu dari Sutan Syahrir. Kemudian ayahnya pindah ke Medan, namun kali ini Rohana tidak ikut ayahnya. Ia memilih tinggal bersama neneknya di kampung Koto Gadang. Ia menggali pelajaran menyulam dan menjahit kepada neneknya yang merupakan pengrajin terkenal di Koto Gadang. Dalam pelajaran lain, Rohana belajar secara otodidak dan banyak membaca beragam buku.

Di kampung yang indah, asri, permai yang letaknya tak jauh dari Bukittinggi dan dekat dengan Ngarai Sionok pun dijaga oleh Gunung Merapi dan Singgalang, tempat kelahiran sosok-sosok besar seperti Haji Ahussalim, Sutan Syahrir, semangat Rohana tidak padam. Di kampung halaman nan elok tersebut Rohana tetap bersebangat berjuang melawan ketidakadilan pendidikan perempuan yang berlaku pada masa itu. 

Rohana, sang pendidik otodidak, sangat akrab dengan situasi perempuan yang dipingik (tidak boleh keluar rumah), tidak boleh sekolah, dan tidak boleh melampaui kepandaian laki-laki. Pendidikan berpihak pada laki-laki dengan menyisihkan perempuan. Tidak ada pendidikan untuk perempuan yang menyebabkan perempuan hanya menjadi urang rumah yang identik dengan tukang masak, mengasuh anak, dan melayani suami. Perempuan harus tunduk totalitas kepada suami. Tidak ada kelayakan pendidikan untuk peremuan. Hal tersebut merupakan konstruksi budaya terhadap perempuan pada masa itu.

Rohana kembali mengulangi apa yang dilakukan di Talu. Ia menjadi guru dan membuka sekolah terbuka untuk memberantas buta huruf. Ia mengajari membaca dan mengaji. Ia mengajar mengaji Al-Qur'an setiap hari kamis. Bukan hanya anak-anak saja yang datang berduyun-duyun, namun juga muda remaja.

Buah konstruksi budaya tersebut membuat bara keberpihakan terhadap kaum perempuan makin membara. Ia ingin mengeluarkan perempuan yang terpinggirkan dalam pendidikan. Atas bantuan Ratna Puti, seorang istri Jaksa Kayu Tanam, pada 11 Februari 1911 berdirilah perkumpulan Kerajinan Amai Setia (KAS) menjadi tempat pendidikan bagi perempuan Koto Gadang.

KAS berdiri dengan tujuan mengangkat drajat perempuan Melayu di Minangkabau dengan mengajari perempuan menulis, membaca, berhitung, urusan rumah tangga, agama, akhlak, kepandaian tangan, menjahit, gunting-menggunting, sulam-menyulam, dan berbagai pendidikan lainnya.

KAS merupakan institusi pendidikan perempuan yang berhasil merubah pola pikir perempuan sekaligus merubah image masyarakat Koto Gadang tentang perempuan terdidik. Di mana semula Koto Gadang memiliki ketakutan dan kecemasan tersendiri terhadap terdidiknya perempuan dalam pendidikan sebab dikhawatirkan akan menyaingi laki-laki dan membuat anak perempuan bisa bekerja di luar rumah dan akan mengabaikan pekerjaan rumah.

Musyawarah pendirian KAS, 11 Februari dihadiri 60 perempuan (Bundo Kanduang) Koto Gadang. Dalam pertemuan itu Rohana ditunjuk sebagai ketua KAS disamping menjadi guru. 

Setelah KAS berjalan sesuai tujuan awal dan pendidikan merata, marjinalisasi perempuan dari pendidikan makin disadari sebagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Seiring berjalannya waktu, KAS berkembang menjadi institusi pendidikan dan lembaga keterampilan bagi perempuan. Hasil dari keterampilan perempuan dipasarkan oleh KAS untuk kesejahteraan para perempuan yang bergerak dalam KAS. Semua hanya menjual hasil kerajinan dari anak-anak didik Rohana, kemudian berkembang menjadi penjual hasil kerajinan masyarakat kampung Koto Gadang. Perkembangan yang luar biasa dari KAS adalah KAS menjadi basis dan pusat kerajinan rumah tangga di Koto Gadang.

Usai mendapatkan pinjaman modal dari bank, KAS yang dikelola Rohana berkembang menjadi unit usaha ekonomis yang bertujuan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan. KAS menjadi unit usaha ekonomi perempuan pertama di Minangkabau dan juga bergerak dengan simpan pinjam untuk perempuan dalam mengembangkan usahanya.

Dari perjalanan Rohana dan KAS tersebut nampak gamblang bahwa KAS menjadi basis pendidikan yang signifikan dalam pergerakan pemberdayaan kaum perempuan. Inilah bentuk aktualisasi pendidikan dan agama yang dilakukan Rohana. Ia meyakini bahwa agama tidak pernah mengekang perempuan untuk terdidik. Justru agama mendorong manusia untuk mempotensikan akalnya terus menerus dan semaksimal mungkin. Salah satu jalan mempotensikan akal yakni melalui pendidikan. Landasan tersebut yang membuat Rohana tidak pernah gentar menghadapi lawan-lawan yang tidak setuju dengan adanya pendidikan terhadap perempuan. Rohana meyakini tidak ada ajaran agama yang melarang perempuan berpikir dan berpendidikan maju.

KAS yang dipelopori Rohana menekankan materi yang memenuhi tiga ranah dimensi pendidikan perempuan yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tak berlebihan jika pada akhirnya Rohana disebut sebagai pelopor pendidikan perempuan modern, di samping dirinya sosok jurnalis perempuan pertama di Indonesia.

Keterampilan yang diusungnya pun menekankan atau tetap menjaga makna kultural lokal. Tujuannya yakni mengembangkan aset lokal menjadi berdaya guna dan menjadi ciri khas.

Pada 1916, Rohana pernah mendirikan Rohana School di Bukittinggi. Sekolah ini didirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap orang-orang yang tidak menginginkan KAS berkembang pesat. Orang-orang yang tidak suka tersebut membuat fitnah dan isu bahwa Rohana adalah seorang koruptor. Dampak dari isu tersebut, Rohana berurusan dengan pengadilan, namun dalam persidangan Rohana tidak terbukti bersalah. 

Dari perjalanan panjang tersebut dapat ditarik benang merah bahwa perjuangan perempuan sangat berhadapan dengan konstruksi ketidakadilan terhadap perempuan. Ketidakadilan tersebut terutama dalam pemarjinalan perempuan dalam pendidikan, ekonomi, politik, dan budaya. Dogma perempuan hanya sebagai manusia domestik dan jauh dari ruang publik begitu diamini. Bisa dikatakan pula, perempuan pada masa itu dipetakan oleh budaya menjadi kerja seksual, domestik wilayah kerja perempuan, dan publik wilayah kerja laki-laki.  

Jika meminjam kata Beauvoir, pada masa itu di Koto Gadang, perempuan benar-benar menjadi sosok liyan. 

Sosok pejuang perempuan seperti Rohana pun pada akhirnya harus pasrah oleh kuatnya kuasa konstruksi budaya yang terjadi. Kesempatan ke negeri kincir angin untuk memenuhi undangan pemerintahan Belanda pupus oleh nasehat mertuanya. Ia tidak diberikan izin untuk berangkat ke Belanda dengan alasan tidak ada perempuan yang diperbolehkan pergi jauh seorang diri tanpa muhrim.

Konstruksi wilayah domestik dan publik yang sangat kental dan kuat budaya patriarkisnya membuat dirinya makin kuat dan bertekad lebih berjuang untuk kaum perempuan. Momentum inilah yang menjadikan kesadaran lebih bagi Rohana bahwa pendidikan merupakan jalan terbaik untuk melepaskan perempuan dari cengkeraman konstruksi publik patriarki.

Pada 1912, berkat keakrabannya dengan media masa atau berita sedari kecil, ia menciptakan dunia baru bagi dirinya. Rohana menjadi seorang jurnalis perempuan pertama di Nusantara. Ia juga sebagai pelopor media masa perempuan dengan didirikannya surat kabar Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar padusi (perempuan) pertama di Indonesia. Berita dan berbagai tulisan yang dimuat berkenaan dengan perempuan dan penulis-penulisnya juga terdiri dari perempuan.

*Redaksi

*Dikutip dan buah referensi dari berbagai sumber

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment