Segaun Rerinduan dan Udyana di Tengah Sabana [Part I]

 

Entahlah. Goresan tinta (*baca: cinta) ini bernama apa. Aku tak peduli dengan nama. Kalian bebas menamainya. Aku tak peduli dengan penamaan-penamaan yang akan diproduksi di pabrik-pabrik perlambean terlebih pabrik-pabrik egoisme dan tendensi-tendensi yang di-backing-i emosi sesaat. Aku menulis ini hanya karena ingin menulis. Ingin. Sekali lagi: ingin! Tak lebih dari itu.

Bagiku, nama itu seperti ombak di lautan. Ia hanya bisa disebut dan dipandang, meski kelihatan ada pun hadirnya tetapi tidak bisa di ambil dengan bak yang digunakan untuk memandikanmu kala bayi, terlebih dengan gayung yang engkau gunakan untuk cebok. Terkadang ia pun hanya mampu dirasa hadir dan adanya bagi diri yang menghidupi rasa pangrasa. Meski tak dapat dipungkiri ia terkadang diabaikan hadir pun adanya ketika diri tanpa sadar tak menghidupi rasa pangrasa  atau malah mengabaikan rasa pangrasa.

Laut adalah laut. Laut tetaplah laut. Ombak hanyalah bagian kecil kala laut bekerjasama dengan angin. Kala peluk sepoi menghampiri singgahsanamu di bibir manisnya pantai, engkau merasakan kedamaian, kesejukan, dan keindahan di dalam benakmu, lalu dengan enteng engkau menyebut semua rasa itu buah dari debur (yang diantarkan) ombak. Padahal semua rasa tersebut buah dari kerjasama angin dan laut yang tak engkau sebut. Bahkan ada peran besar yang terkadang diri lalaikan. Energi. Ah, Energi maha energi yang menggerakkan keseluruhan melalui staf-staf keenergiannya.

Di sisi lain ada perasa yang bekerja di dalam dirimu yang mungkin engkau lalaikan. Ada sesuatu dzat yang mengahadirkan dan memberitahumu bahwa itu adalah rasa, bukan sebatas entitas semata. Sedang engkau sendiri pada dasarnya tak bisa menciptakan rasa itu sendiri. Ada ekosistem kehidupan besar yang saling bekerjasama untuk melahirkan sebuah rasa sehingga engkau mampu merasakan dan menyebut itu adalah rasa. Ah, kompleks sekali, Gusti.

“Gusti, mohon maaf atas kesempitan hambamu yang hina dan penuh dengan kebodohan ini. Gusti, Mohon maaf atas keakuan di dalam diriku yang terlalu aku aku-akukan, sampai aku tak tahu jika di dalam diriku aku seringkali menghilangkan Aku, baik secara sadar ataupun tak sadar,” gumamku dalam menung kala kuketuk pintu rumah-Mu. Gusti, aku hanyalah gelandangan di wajah-Mu dan pemulung rasa di tengah sabana yang riuh namun sepi serta di hutan belantara yang digunduli pun ditanduskan.

Sialan! Aku kepayahan!

Lantas, alasan apa yang pantas melandasi diriku untuk menyemai dan menabur kesombongan, Gusti? Jika terkadang dalam suatu ruang ketika diri merasakan sesuatu pun masih terjebak dalam permukaan belum berjalan menuju esensi, terlebih kompleksitas kosmik yang saling terkoneksi dan beriringan dalam menghadirkan pun mengadakan sesuatu. Apakah landasan ketidaktahuan yang akan kujadikan dasar kesombongan? Entahlah. Aku geli dengan diriku sendiri. Namun, pastinya semua memiliki jawabannya masing-masing sesuai dengan bentang ruang perjalanan sunyinya sendiri-sendiri dalam bertafakur dan bertadabur atas segala apa yang hadir dan ada. Dan jawaban itu pun bukanlah sebuah bahan untuk menggelar panggung perebutan atas kebenaran dasar. Bukan. Namun, jalan baru menuju pencarian-pencarian yang lainnya dalam kehidupan ini untuk bekal melahirkan keharmonisan pun keindahan-keindahan.

Ah, hidup adalah bentang perjalanan panjang untuk menemukan keindahan-keindahan. Kebenaran dan kebaikan memang perjalanan panjang pula yang harus diperjuangkan, tetapi kebenaran dan kebaikan tak cukup jika tak melahirkan keharmonisan atas keindahan-keindahan. Terkadang, untuk berebut benar dan baik atas dirinya sendiri, golongan atau organisasi pun membutuhkan perjalanan panjang yang seringkali dipaksakan bersandingan dengan tiket-tiket doktrinasi, propaganda, gontok-gontokan, srengkal-srengkalan, tendang-tendangan, gajul-gajulan, lempar-lemparan tinja, atau apalah-apalah demi eksistensi keakuan yang fana dan tendensius. Ah, tepatnya membangun opini agar dirinya lebih diakui dan ditaruh di atas kepala setiap bidikannya. Menggelikan.

Terlebih jika kita mencari baik dan benar yang lebih universal dengan output kebaikan bersama, humanism, rahmatan lil 'alamin, memayu hayuning bawana, pasti akan sangat panjang lagi perjalanannya. Tempaan dan hantaman pasti akan hadir, turut serta menguji niat, tekad, keistikamahan, ketotalitasan, dan tentunya kenekatan. Namun, semua itu akan tetap berjalan dan bisa diraih jika dalam ruang tersebut menyemai, menghidupkan, dan menghidupi gelombang kesadaran untuk saling mengisi, melengkapi, mengingatkan, menguatkan, dan saling bergandengan satu sama lain.

Singkatnya. Saat ini, apakah diri akan membaca kelam untuk bekal tadabur panjang dalam membaca zaman dan pengetahuan atau hanya akan diam di zona nyaman yang terkadang menjebak dan menipu, bahkan terkadang menguburmu tanpa engkau sendiri menyadarinya.

Jika terkubur, lalu siapa yang akan menggali pekuburan itu, jika ia hadir tanpa diketahui dan dihidupi tanpa disadari. Atau diri kita akan menunggu semuanya terkubur baru akan menyadari jika diri kita berada di dalam pekuburan dimana yang mengubur tak lain adalah sesuatu yang dahulunya sangat dielu-elukan dan diperjuangkan sakralitasnya dalam ruang eksistensi kepalsuan pun keakuan? Bagaimana diri kita akan bangkit dari pekuburan itu jika diri kita menyadarinya sudah terlambat -dikubur dalam-dalam- sedang diri kita tidak memiliki terlebih membawa cangkul atau beragam alat untuk membuat terowongan agar merasakan semburat cahaya yang akan menuntun perjalanan menuju ruang yang sebenarnya? Entahlah.

Lagi dan lagi, kebenaran dan kebaikan yang engkau ketahui dan kiblati saat ini bisa jadi adalah buah ketidaktahuan atas kesalahan yang baru akan disadari seperberapa detik berikutnya atau mungkin di waktu yang akan datang. Atau pernahkah sejenak diri kita berenang dalam samudra perenungan “Apa yang diri tampik hari ini dasarnya buah dari ketidatahuan atau pengetahuan diri atas apa yang ditampik. Atau tampikan yang kian keras itu buah dari berlebihnya pengetahuanmu ataukah buah dari tidak adanya pengetahuanmu atas apa yang ditampik. Dan apakah perlu sejenak kita duduk bersama menikmati secangkir kopi di bawah rindang senja atau sunyi malam sembari bertadabur atas ombak, laut, angin, energi, rasa, dan ritme langkah kaki? Perlukah?

Entahlah.

Rasa-rasanya sangat perlu salah satu petuah sosok besar kujadikan pungkasan dalam pintu masuk sederhana yang akan mengantarkan ke dalam bilik-bilik yang diri bangun di dalam kepala dan jiwa. Siapa tahu suatu hari nanti bilik-bilik itu akan dipugar lalu dibangun sebuah pendapa atau gazebo.

"Tiada sesuatu yang sangat berguna bagi hati (jiwa), sebagaimana menyendiri yang dapat menyebabkan masuk ke medan berpikir (tafakur)."

"Pecinta bukanlah orang yang mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya."

***

Mungkin, suatu hari nanti jika saya masih diberikan izin menikmati keindahan, keagungan, dan segala kemahaan Gusti di mayapada ini, buih-buih rasa di atas akan saya teruskan. Tentunya sebagai pertanggungjawaban moral pun jiwa atas kesyahduan izin-Nya terkait penggelandangan dan memulung yang kurasakan. Namun, teruntuk kali ini, mukadimah sederhananya cukup sekian. Sepertinya sudah terlalu menjenuhkan diri kalian yang menyempatkan diri membaca pun meluangkan waktunya bersilaturahmi dalam tulisan ini.

Alangkah lebih syahdunya, kita sejenak beranjak ke dapur untuk membuat secangkir kopi atau teh atau coklat, atau mengambil bantal untuk menopang leher dan kepala untuk berebah. Setidaknya, jika kalian tidak menemukan apa-apa di sini, waktu ngopi atau ngeteh atau nyoklat atau waktu rebahan kalian tidak terbuang dengan sia-sia.

Aku tak mau menjadi penyebab kesia-siaan dalam hidupmu. Aku tak mau melukaimu dengan kecewa yang hadir dalam rasa pun pikiranmu. Sebab, ketika aku mengecewakanmu saat itu pula aku sedang menyakiti diriku sendiri, aku sedang membangun rasa sesal di dalam diriku sendiri, dan aku sedengang mengecewakan diriku sendiri. Begitulah, kekasih.

Ah, abaikan saja tulisan barusan. Enaknya, mari kita seruput dulu kopinya atau seduh dulu teh atau coklatnya. Ssruuuuup... Eeeeh… Nikmat sekali, kekasih.

Bagi yang sudah mengambil bantal sila papankan dulu leher dan kepalanya biar nyaman, luruskan dulu boyok yang sangat tangguh menemani perjuanganmu mengarungi hari dalam mewujudkan mimpi-mimpi.

Kalau sudah, mari kembali berenang dalam lanjutan tulisan ini di Segaun Rindu dan Udyana di Tengah Sabana [Part II] yang akan sesegera di unggah dan tadi sudah saya sebutkan atas keentahan namanya.

Ditulis oleh Pemulung Rasa.
Laki-laki kelahiran Magelang 
yang tengah berjuang menggelandang 
dan memulung rasa di jalan sunyi.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment