Terus Melangkah atau Sudah | ATMaM


Sabtu sore jelang magrib, kala itu, masih sangat lekat dalam benak. Usai belanja mingguan di salah satu minimarket terlaris di kota X, kabupaten  Y, provinsi Sulawesi Utara, ponselku berdering. Sesegera kuambil ponsel, lalu kuangkat panggilan itu, “Mas, Mbakyum sakaratul maut!” ucapnya dengan suara gemetar.

Seketika, telepon itu mendadak hening. Embus udara pun seketika tak kurasa lagi. Semua berhenti. Bahkan, kumandang azan magrib pun tak terdengar jelas di telingaku. Padahal di belakangku persis berdiri masjid besar, megah.

Aku sangat berharap itu sebuah halunisasi saja atau sebuah mimpi dalam lelap sejenak yang tak kusadari. Aku sangat berharap apa yang kudengar tadi tidak benar-benar terjadi. Dalam kekakuan dan kebisuan yang tetiba membelenggu ini, semoga apa yang baru saja kuangkat itu salah, pintaku.

Salah seorang teman menepuk pundakku, lalu menatapku sembari berkata “Lu kenapa?” tanyanya dengan aksen Jakarta.

“Kok kayak lagi mikir utang?” sambungnya lagi dengan aksen yang sama, “Lu di tagih utang, Mas?”

Satu pertanyaan belum kujawab, dua pertanyaan lain sudah menyerang. Entahlah. Kala itu aku seperti terkunci, mematung. Aku mendiamkannya sejenak. Lalu beberapa embus napas kemudian kuajak mereka naik angkot, “Salat di rumah saja,” ucapku.

Tanganku bergetar kuat. Lagi dan lagi, pikiran dan jiwaku berharap apa yang kudengar itu salah.

Akh, sialan! Kisah itu sulit kuceritakan kembali. Sebab, luka itu tak akan pernah hilang atau sembuh dari benak pikiran. Hati ini jauh tergores ketimbang jatuh karena ditinggal pacar pas lagi sayang-sayangnya dan sudah ngebet pengin menghalalinya.

Peristiwa itu beberapa hari terakhir ini mulai merundung kembali. Dinding-dinding pikiran dipenuhi hal serupa, meski dengan sosok yang berbeda dan kondisi yang tak sama.

Ini bukan cerpen atau fiksi. Apa yang sedang kuceritakan ke kalian ini kenyataan dan benar adanya. Jujur, sebenarnya sangat berat menceritakan kisah ini. Tidak mudah dalam menggerakkan jemari untuk menyentuh keyboard dan menyusun kalimat. Rasanya lemas.

Mengapa aku menulis ini? Tentu bukan karena permintaan Pras alias Pemulung Rasa yang sering menyentil dengan tema-tema yang nyentrik. Bukan tidak mau urun rembug atau curhat. Bukan. Terkadang otak sedang tidak baik-baik saja. Bisa jadi bukan karena tekanan corona. Namun, sebuah tekanan antara terus melangkah atau sudah dan putus atau terus. Bukan sebatas putus atau terus dengan pacar, bukan!

Sederhananya, pekerjaan itu sudah ada di tangan. Bahkan, pekerjaan yang sedang kugeluti saat ini menjadi impian banyak orang di luar sana. Bukan banyak, tapi jutaan orang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi ini.

Jujur saja, posisi sekarang bukan prestasi hebat yang bisa membuat kaya, apalagi sampai menjadi oligarki, tidak. Hanya saja, ada kebanggaan tersendiri ketika sekarang aku mampu meraih apa yang diimpikan banyak orang di luar sana. Tentu, ini bukan sebatas karena usaha kerasku meniti perjalanan karier di ruang ini. Di luar sana ada doa yang selalu menggema untukku dari orang-orang tercinta dan pastinya karena Gusti yang menggerakkan semua ini.

Siapa sih yang tidak mau lulus kuliah, dapat kerja, lalu diangkat menjadi AparaturSipil Negara (ASN). Kerja dengan jaminan pemerintah atau negara itu enak. Gaji setiap bulan jalan, dapat tunjangan, dan jaminan masa tua juga ada. Istri juga terjamin ketika diri sudah pergi ke tanah alias berpulang ke pencipta.

Segudang keuntungan bisa dirasakan ketika menjadi salah satu karyawan di instansi pemerintahan. Itu sih enaknya. Terlebih kalau kerjanya dekat dengan orangtua, anak, istri, dan keluarga. Ditambah lagi masih bisa guyup rukun dengan lingkungan. Sempurna.  

Namun, kalau jauh semua? Berat? Sebaiknya tidak usah tanya berat atau tidak, karena jawabannya sudah jelas, sangat berat. Apa iya mau munafik mengatakan enak? Jauh dari keluarga dan sanak saudara saja sudah berat dan membuat overthinking, masa ya harus masih ditambah berat dengan menjadi manusia munafik dengan mengatakan enak hanya untuk menutupi ke-overtingking-an diri. Ya emoh!

Hitungan angka dan jaminan keenakan di atas akan menjadi hambar ketika jauh dari mereka. Ada hitungan yang sulit dirumuskan dan dikatakan dengan angka, terlebih dengan nominal rupiah. Sebab, jika kita pahami, sejauh dan setinggi karier apa pun orang itu bekerja, jauh dari keluarga dan sanak-saudara itu tidak enak sama sekali. Semua jabatan dan keuntungan yang tadi menjadi tidak enak sama sekali.  Ini bukan perkara manja atau anak mami, bukan.

Gampangnya, kamu ada gaji, tetapi jauh dari anak istri dan hanya bertemu setahun dua kali. Apa itu enak? Enggak! Ini bukan karena sebatas berat menahan rindu, seperti yang dikatakan Ayah Pidi melalui Dilannya. Bukan itu, bukan. Dan tidak semudah itu.

Jika kalian ada yang bilang, di era sekarang itu perkara apa pun mudah bukan? Semisal rindu bisa video call dan diri kita bisa mendengar kabar dan melihat sosok yang diri cintai dan sayangi. Sekilas, memang iya, di era sekarang untuk mendengar kabar dan memandang sosok yang dicintai dan disayangi itu mudah, sebatas modal gawai, kuota, batrai, dan sinyal.

Namun, rumah tangga itu tidak sesederhana dan semudah itu. Menikah itu momentum manusia berjanji langsung kepada Gusti dan disaksikan oleh banyak orang. Sangat sakral. Banyak amanah yang harus dijalankan. Tidak bisa disederhanakan menjadi yang penting bisa menyukupi kebutuhan anak istri dan memberikan atau membelikan apa yang anak istri inginkan. Tidak bisa.

Mendidik dan membersamai tidak bisa disederhanakan dengan bisa video call setiap saat. Bisa jadi ketika video call istri dan anak nampak bahagia, tetapi diri tidak tahu bagaimana keadaan istri sebenarnya, baik sebelum dan usai video call. Bisa jadi istri lagi kurang enak badan atau pegal-pegal, karena seharian ngurus anak sendiri dan masih mengerjakan beragam pekerjaan di rumah sehingga capeknya numpuk dan tidak dibuat rasa.

Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Iya kalau keadaannya baik-baik saja seperti harapan. Jikalau sedang tidak baik-baik saja dan memilih diam karena takut mengganggu konsentrasi suami sehingga tidak fokus dan terlalu kepikiran orang rumah, bagaimana? Toh, momentum dan nuansa membersamai atau dibersamai secara virtual itu sangat beda dengan langsung.

Jujur, yang namanya jauh dari keluarga dan sanak saudara itu tidak enak sama sekali. Agaknya, makan nggak makan asal ngumpul itu sangat diperlukan di momentum tertentu, bahkan di banyak momen dalam hidup yang singkat ini. Sebab, uang tidak bisa menjamin orang itu bahagia, adalah benar. Memang, uang bisa membuat orang bahagia, tetapi tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang.

Itu fase paling ringan, jauh dari anak dan istri.

Ada momentum yang paling berat ketika jauh di tanah rantau dan keluarga juga sulit menjangkau. Hal itu yang sedang kualami saat ini.

Ketika orang-orang terkdekat mulai menua, butuh perhatian anak, sakit dan mulai rapuh, lemah, lalu diri berada di tempat yang sangat jauh. Seolah, bom waktu siap meledak kapan saja dan meluluhlantakkan semuanya.

Orang lain mungkin berpikir itu sebuah resiko karena diri sudah memilih untuk jauh dari mereka dan memutuskan mengabdi untuk negara. Bagiku, memang iya itu sebuah resiko.

Dan sekarang, ada pilihan berat yang jauh lebih beresiko. Ketika mereka pergi meninggalkan dunia ini dan saat itu aku jauh dari mereka. Ah, aku tak kuasa membayangkan. Terlebih, semisal itu terjadi dan aku tak bisa menemani di saat terakhirnya, di masa tuanya, di masa lemahnya, di masa sakitnya. Apa iya aku akan bisa hidup tenang meski dengan pangkat dan golongan yang makin naik, dan tentu gaji makin tinggi bukan?

Tidak! Aku tak akan bisa hidup tengan.

Aku akan dihujani rasa sesal. Aku akan menjadi orang yang paling menyesali kejadian itu jika hal tersebut sampai benar-benar terjadi. Dan sesal di 2013 tidak mau dan jangan sampai terulang kembali. Aku tidak ingin merasakan jatuh di lubang penyesalan yang sama untuk kedua-kalinya.

Lantas, keputusan untuk mengundurkan diri dari pemerintahan atau ASN, mungkinkah sebuah keputusan yang tepat?

 “Jika itu lebih baik, kerjakan. Lakukan, semua sudah ada time yang diatur sedemikian rupa,” tutur (saran) salah seorang teman kepadaku, usai kubercerita atas segala yang singgah di pikiran dan perasaan.

Sahabat lamaku justru sangat mendukung karena merasa alasan yang kujelaskan sangat tepat dan sulit untuk diuraikan dengan angka atau dibandingkan dengan jabatan.

Stres, bingung, dan yang pasti aku harus memutuskan. Memilih sesuatu dengan tepat. Jangan sampai menyesal di kemudian hari, juga jangan sampai salah memilih.

Siang tadi (20/06/22), ada pesan WhatsApp masuk. Masih dari rekaan satu profesi yang sama. Ia cukup dekat dengan penempatanku menjalankan amanah saat ini. Ia berkata, rezeki itu bisa dicari di mana pun, dekat dengan keluarga adalah penting. Soal uang pikir belakangan. Sebab, ladang Tuhan itu ada di mana pun, asal mau berusaha dan bekerja.

Yes, sosok kuat dan kokoh dengan ideologi kuat serta ego tingginya itu runtuh seketika membaca chat tersebut.

Setelah dibuat runtuh oleh chat itu dan berusaha menuliskan momentum yang selalu lekat, sejenak aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan menulis. Walhasil, tetap saja aku belum bisa melanjutkan menulis yang panjang atas ragam dentuman, gelombang, hantaman yang singgah, hadir, dan ada. Lalu, kuputuskan mengirim cerita ini sesegera ke si Pemulung Rasa.

Usai ngobrol sejenak di chat sembari membaca tulisan yang kukirim, ia turut menyumbang suara, tapi bukan menyanyi. Ia tak bisa menyanyi.

“Mas, apa pun dan siapapun itu, selagi masih ada, Gusti memberikan kesempatan diri untuk ngabekti. Diri harus merawat, terlebih jika itu keluarga. Jangan sampai, kelak ketika sudah tiada, diri menjadi orang yang paling keras menangisnya. Bukan menangis bahagia karena Gusti sudah menghadirkan beliau dengan segala cinta, kasih, perjuangan, dan pengorbanannya untuk diri kita. Bukan menangis bahagia karena beliau tersenyum kala kembali ke dzat muasal, berjumpa dengan kekasih. Dan sejatinya, saat ini kita sama-sama sedang menunggu waktu mudik, kembali ke kampung halaman sejati, ke muasal, bukan?” tulis si Pemulung dalam pesannya.

Lanjutnya setelah mengetik lama tidak dikirim-kirim, “Jangan sampai diri menangis paling keras karena sebuah penyesalan besar atas hilangnya kesempatan ngabekti selagi beliau-beliau ada. Sederhananya, ketika beliau ada, kita tak pernah meluangkan waktu untuk merawat, mengasihi, menyayangi dengan penuh. Seringkali, tanpa diri sadari, yang dibutuhkan orangtua bukan materi, melainkan ruang bersandar, pelukan, cinta, dan kasih sayang. Melangkahlah jika melangkah adalah hal terbaik. Melangkahlah sesuai bisik jiwa terdalam. Dan selagi diri masih diberikan anugerah napas, Gusti selalu memberi dan menghujani rezeki,” pungkasnya.

Bersambung....

Ditulis oleh ATMaM.

Senja tak pernah lupa jika gelap akan menenggelamkannya. Pun dengan gelap yang rela direnggut pagi.

Editor: Pemulung Rasa

NB.

Jika pembaca ingin menyimak lebih lanjut kisah ini, sila bisa singgah di komentar sebagai suport bersama kepada penulis. Tentu agar penulis mau melanjutkan berbai kisahnya di sini untuk bahan belajar kita dalam melakoni hidup ini.

Teruntuk tulisan ini, penulis tidak ingin disebutkan namanya. Pihak Salik tidak akan pernah berani menyebutkan nama si penulis ini (meski mengetahui data pribadinya) sebelum penulis itu sendiri yang meminta atau menyebutkannya sendiri.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment