Perempuan dalam Kotak | Amira Zakia Khoerunisa

Perempuan-perempuan memang selalu terlalu untuk yang ketakutan melulu.


Feminisme lahir dari rahim kesadaran perempuan atas kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki sebagai manusia. Kesadaran atas terjadinya pemasungan, pengandangan, peminggiran, pengekangan, dan penindasan terhadap kaum perempuan dalam jangka waktu yang lama dan kian dilanggengkan pula oleh kaum patriarki menjadi pemantik bagi kaum perempuan bangun dari penderitaan panjangnya.

Subordinasi terhadap perempuan dalam jangka waktu yang sangat lama pun pada akhirnya melahirkan benih kesadaran yang kian hari kian bertambah subur, rimbun, berbunga, dan berbuah lebat pun segar. Kesadaran menjadi pemicu daya upaya kaum perempuan (dan laki-laki yang sadar) untuk memperjuangkan terciptanya kesetaraan gender. Salah satu jalan yang dilalui untuk mewujudkannya ialah melalui jalan sastra.

Sastra menjadi jalan yang dipilih perempuan (dan laki-laki yang sadar) dalam menyuarakan isu perempuan dan memperjuangkan kesetaraan gender. Memilih sastra sebagai jalan perjuangan bukan karena dipicu oleh rasa ketakutan untuk turut terjun ke jalan dan bergerak secara langsung. Namun, hal tersebut dipicu oleh keberanian yang tumbuh di dalam diri penulisnya.

Seseorang yang berani bersuara melalui sastra merupakan sosok yang pemberani. Berani berpikir, merenung, bersuara, bergerak, mengabadikan, dan memperpanjang umur perjuangan. Sekeras, sesistematis, sestruktural, dan sebanyak apa pun masa dalam berjuang, hal tersebut masih kurang komplet dan kurang berpengaruh apabila tidak disuarakan melalui tulisan. Tulisan merupakan jalan menuju relung jiwa, dasar pikiran, dan keabadian.

Tak heran, jika pada era pascakebenaran, abad 21 ini, khususnya di Indonesia, makin banyak penulis perempuan yang muncul ke permukaan dan mulai menggaungkan isu kesetaraan gender dalam karya sastranya. Sebab, perempuan kian hari kian berani. Salah satu dari sekian banyak penulis perempuan yang bermunculan yakni Lucia Priandarini.

Lucia, lahir dan tumbuh di Malang. Ia hidup di rumah yang penuh buku. Lucia merupakan alumni jurusan Komunikasi di Universitas Indonesia. Pasca lulus, dirinya menghidupi ragam lakon kehidupan, seperti reporter, menulis naskah nonfiksi, menulis konten, serta menulis novel dan puisi. Salah satu karyanya dalam bentuk puisi yang bersuara tentang perempuan dan sering dikutip pun dibicarakan banyak orang ialah “Perempuan-Perempuan yang Terlalu”.

Perempuan nampaknya menjadi sosok yang sangat menarik dalam sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Pembahasan mengenai perempuan tidak ada habisnya. Segala hal tentang perempuan tak ada hentinya dibicarakan umat manusia, baik oleh laki-laki maupun perempuan itu sendiri dalam berbagai ruang, waktu, situasi, dan ragam kondisi.

Hal-hal menyenangkan dan tidak menyenangkan pun terus bergulir menimpa perempuan. Namun, nampaknya, lebih banyak hal tidak menyenangkan yang menimpa dan dialami perempuan dalam kehidupannya sebagai manusia.

Kekerasan seksual, subordinasi, dan diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi sampai saat ini, tanpa henti. Contohnya, ragam kasus yang terpampang di media massa, media sosial, dan dalam obrolan-obrolan masyarakat yang hidup di sebuah negara yang berpegang pada asas Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia. Kasus-kasus tersebut sangat menggemaskan.

Dari puisi tersebut, Lucia menangkap dengan serius ragam kegelisahan yang dialami perempuan Indonesia, baik yang muncul atau tidak muncul ke permukaan. Kegelisahannya menjadi bahan tadabur yang kemudian diolah dan dituangkan ke dalam karya puisinya dengan bahasa yang menohok. Dalam puisi “Perempuan-Perempuan yang Terlalu”, Lucia menggambarkan betapa serbasalahnya hidup menjadi perempuan.

Puisinya menjadi makin menarik dipelajari dan ditebarkan ke setiap telinga dan mata karena topik yang diangkatnya lekat dengan kehidupan perempuan Indonesia. Najwa Shihab, salah satu sosok perempuan panutan generasi muda yang selalu vokal dan berani berbicara banyak hal, termasuk isu perempuan, beberapa kali dalam obrolan dan diskusinya memetik puisi “Perempuan-Perempuan yang Terlalu” (dan menyebutkan nama penulisnya, Lucia Priandarini) untuk mengungkapkan keadaan perempuan di tengah kehidupan ini.

Perempuan-perempuan memang selalu terlalu 
Gincu terlalu merah untuk sekadar mengantar anak ke sekolah

Rok terlalu pendek, pantas saja diganggu

Hijab terlalu panjang, hati-hati jatuh saat naik sepeda

Pada bait pertama puisi tersebut, Lucia menggambarkan keadaan di mana perempuan selalu dinilai berlebihan dalam berpenampilan. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan menemui atau tepatnya diberikan batasan-batasan oleh budaya yang dikonstruksi laki-laki. Dampak dari konstruksi budaya tersebut menjadikan perempuan kehilangan kebebasannya dalam mengekspresikan diri melalui biologi atau tubuhnya. Mudahnya, dalam berpenampilan.

Dalam pemaknaan umum, penampilan sering kali diartikan sebagai bagian dari gaya hidup seseorang. Namun, dalam penafsirannya tersebut, sering kali si penafsir tidak mempertimbangkan unsur psikologis, biologis, dan unsur-unsur yang lainnya di dalam diri dan budaya perempuan. Bisa jadi, mungkin karena si penafsir memang tidak memahami psikologis dan unsur lainnya di dalam diri perempuan sehingga tidak memasukkan unsur tersebut dalam tafsiran dan ucapan-ucapannya.

Sialnya, pelecehan terhadap perempuan pun seolah dinormalisasikan karena  terjadi atas kesalahan perempuan itu sendiri dengan penampilan atau pakaian yang digunakan tidak sesuai standar kesopanan yang dibangun masyarakat. Sering kali, dalam kasus pelecehan seksual, baik yang muncul di permukaan atau diceritakan secara individual oleh korban, si korban banyak yang mendapatkan respons “Pakaianmu bagaimana?; Kamu pakai pakaian seperti apa?; Penampilan kamu waktu itu bagaimana?”

Menurut kalian yang waras dan punya nalar sehat, “Apakah pakaian pemicu utama penyebab terjadinya pelecehan seksual? Apakah pantas, beradab, beretika, dan berempati ketika diri menyalahkan pakaian korban? Apakah diri mempertimbangkan keadaan psikologis korban ketika memilih  menyalahkan korban yang mempercayaimu sebagai ruang cerita atas tragedi yang dialami?” Sesekali, perlu merenungkan kembali pertanyaan sederhana tersebut agar tidak mudah memberikan tanggapan. Terlebih, asal berbicara dan merespons.

Bukankah pelecehan seksual itu karena adanya kebuasan di dalam otak dan imajinasi yang membangkitkan nafsu berahi si pelaku? Bukankah jika seperti itu yang terjadi, seharusnya yang dikandangi bukan perempuan, melainkan laki-laki? Bukankah yang perlu dididik lebih bukan cara berpakaian perempuan, tetapi etika, pola pikir, dan perilaku laki-laki?

Apakah ketika ada perempuan telanjang berarti ia boleh dilecehkan atau diperkosa, ataukah seharusnya laki-laki yang belajar menundukkan pandangan dan mengontrol pikiran pun kebuasan nafsunya? Bukankah lebih baik ketika laki-laki sekelibat melihat perempuan telanjang terus mencarikan pakaian dan memberikan ke perempuan lain untuk diberikan ke perempuan yang telanjang tersebut agar tubuhnya tidak dilihat banyak orang?

Ataukah menyalahkan korban dengan dalih pakaian yang digunakannya merupakan bentuk konstruksi budaya yang sunyi untuk mengandangkan perempuan dan menormalisasi perilaku pelecehan seksual? Ataukah lebih baiknya kita sama-sama belajar terhadap kasus-kasus pelecehan yang telah terjadi agar menjadi waras, beretika, beradab, dan berakal sehat? Jika iya, data berikut nampaknya perlu dibaca dengan saksama dan penuh kekhusyukan.

Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 mengenai model pakaian apa saja yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual menunjukkan beberapa fakta yang patut direnungkan kembali agar diri tidak mudah menyalahkan korban kekerasan seksual.

Hasil surveinya, yakni pakaian yang dikenakan korban adalah rok panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek atau sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlah, ada 17% responden berhijab mengalami pelecehan seksual.

Data tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara pelecehan seksual dengan pakaian bersifat mitos dan hanya digunakan sebagai benteng pertahanan bagi pelaku untuk menyalahkan korban dan membela diri. Mitos tersebut, baik disadari atau tidak dan mau mengakui atau tidak, terbangun oleh sistem patriarki yang masih diperjuangkan dan dijaga kelanggengannya.

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Perempuan dalam wawancaranya dengan Asumsi (16/12/21) menyebutkan bahwa dalam satu dekade terdapat 45.000 kasus kekerasan seksual yang diadukan ke Komnas Perempuan. Dari kasus tersebut menyatakan tidak semua korban memakai baju yang terbuka. Kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja dan tidak ada korelasinya dengan cara berpakaian.

Lantas, mengapa korban yang disalahkan? Waraskah kita jika menyalahkan korban?

Lucia bukan sebatas menyoroti tentang perspektif masyarakat terhadap perempuan dan melawan pandangan tersebut. Lucia pun memberikan perlawanan bukan hanya sebatas pada tampilan fisik perempuan yang diatur oleh sistem patriarki yang sedemikian langgeng dan kian dilanggengkan.

Lucia menggambarkan bagaimana nilai di dalam diri perempuan pun diberikan batasan oleh buah konstruksi budaya dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut diungkapkan dalam bait ketiga, “Sekolah terus, cita-cita terlalu banyak; Terlalu cerdas, nanti susah cari suami; Terlampau pintar cari uang, pendapatan istri jangan lebih tinggi dari suami”.

Sebagai perempuan, Lucia menyampaikan kritik dan gagasannya dalam bait tersebut, hal-hal seperti pendidikan, mimpi, kecerdasan, pandai mencari uang, berpendapatan tinggi hanya boleh dan menjadi hebat jika dilakukan oleh laki-laki. Lucia menyuarakan bagaimana pengandangan terhadap perempuan yang terjadi dalam kehidupan sosial.

Laki-laki bersekolah tinggi, maka ia akan dianggap pintar dan memiliki poin tambah dalam kelas sosial. Apabila perempuan menjadi sosok yang pintar, ia harus siap ditakuti dengan ucapan-ucapan bahwa dirinya akan susah mendapat pasangan. Laki-laki yang bekerja dan memiliki gaji tinggi, maka ia akan menjadi suami dan ayah yang baik karena mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, jika perempuan bekerja dan memiliki gaji tinggi, ia di cap sebagai ibu yang tidak baik dan istri yang tidak menghargai suami.

Pola pikir tersebut, sepertinya sudah mendarah daging dalam pandangan sebagian masyarakat. Takheran jika banyak perempuan karier yang ketika sudah meningkah, lalu dirumahkan oleh laki-laki (suaminya). Hal tersebut juga memengaruhi pada keberanian perempuan dalam melangkah, menentukan sikap, dan kedaulatan diri. Tanpa disadari ini merupakan bentuk pengandangan atau pemenjaraan.

Meski tidak semua orang mempunyai pemikiran serupa, tetapi masyarakat dominan menganggap perempuan tidak boleh memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Apalagi lebih tinggi. Bisa jadi akan mendapatkan cap perempuan berbahaya bagi kaum laki-laki pengecut.

Banyak yang beranggapan jika perempuan memiliki kedudukan sama atau lebih tinggi dari laki-laki merupakan perempuan yang berjiwa pemberontak. Padahal bukankah laki-laki perlu merasa beruntung jika mempunyai pasangan yang hebat? Bukankah laki-laki akan menjadi lebih ringan beban hidupnya? Bukankah laki-laki juga akan terselamatkan dari jeruji penjara pandangan  dari hasil konstruksi budaya yang konon katanya ideal. 

Perempuan-perempuan memang selalu terlalu untuk yang ketakutan melulu. 

Dari apa yang Lucia tulis di bait terakhir, ia tidak menyangkal jika masih ada sekelompok orang yang pemikirannya terbuka. Perempuan menjadi makhluk yang “selalu terlalu” bagi mereka yang selalu merasa takut, terutama laki-laki yang memiliki toxic masculinity yang membuatnya merasa peran laki-laki lebih sulit dan kompleks dibanding perempuan.

Puisi berjudul "Perempuan-Perempuan yang Terlalu" karya Lucia Priandarini ini terlihat menggunakan majas yang sarkastik. Namun, secara tidak langsung, tujuannya dari puisi ini ialah memperjuangkan hak-hak perempuan agar  mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki.

Hal-hal hebat yang dilakukan laki-laki harusnya menjadi hebat juga meskipun dilakukan perempuan. Perempuan berhak memanjangkan langkahnya agar bisa hidup beriringan dengan kaum laki-laki. Perempuan yang sudah menikah adalah istri dan ibu, tetapi dirinya tetap menjadi manusia dan dirinya sendiri yang perlu hidup dengan apa yang ia "inginkan".

Laki-laki yang benar-benar laki-laki ialah mereka yang tidak pernah takut dan khawatir akan tersaingi oleh perempuan, baik dalam bidang ekonomi, politik, pekerjaan, sosial, dan lainnya.

Hal yang harus diingat ialah perempuan dan laki-laki adalah manusia. Memperjuangkan kemanusiaan adalah tugas bersama. Mari sama-sama menjadi manusia yang insani.

Editor: Pemulung Rasa

Ditulis oleh Amira Zakia Khoerunisa. Lahir di Bandung dan sedekade ini sedang ikhtiar menumbuhkan diri di Cianjur. Saat ini dirinya sedang memperjuangkan kesarjanaannya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Suryakancana.

About the Author

Ruang Bertukar Pikiran, Kenangan, dan Kegelisahan

Post a Comment