Perempuan terlalu berharga untuk dimiliki laki-laki melalui pacaran.
Terlebih hanya dijadikan sebagai objek atau dipermainkan dan diperalat dengan
janji-janji manis yang entah mau ke arah mana, pernikahan atau perpisahan.
Entah, bagaimana seseorang ingin memiliki dan dimiliki, tetapi pacaran
bukanlah jalan yang benar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dari Tuhan
Yang Mahasuci pun Mahamemiliki.
Alasan ilegalnya pacaran di hadapan Tuhan pun sederhana. Namun, banyak pula
manusia yang terlena. Saking terlenanya, sampai dibuat lupa bahwa pacaran dapat
mendekatkan diri pada perzinaan.
Dalam Al-Qur’an pun dijelaskan, salah satunya seperti yang terdapat dalam
surah Al-Isra’ ayat 32, “Dan janganlah
kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk”.
Kala mengingat ayat itu, sering kali pikiran riuh, tak habis pikir jika ada
yang sampai rela menjual berbagai alasan demi terlihat tak berdosa ketika
mereka memilih berpacaran. Seperti apa pun alasannya, tetap saja Tuhan itu
Mahatahu. Kita tak bisa menyembunyikan apa pun di hadapan-Nya.
Telinga manis di tubuh kita ini mungkin pernah mendengar seseorang berkata bahwa pacaran itu berdosa atau tidak
tergantung dari gaya pacarannya, bukan? Tidak, saya tidak percaya.
Sungguh, saya tidak akan percaya. Semua pacaran mengandung dosa. Ukuran
dosanya lah yang tergantung dari gaya pacaran masing-masing anak manusia.
Bukanlah begitu?
Seumur hidup, saya belum pernah melihat orang pacaran yang tidak melakukan chattingan atau teleponan. Isinya? Bisa beragam.
Terkadang bisa berupa candaan yang mengarah pada beragam hal yang bisa jadi
dapat mengguncang syahwat. Tak dapat di pungkiri, zaman sekarang persoalan
komunikasi online sudah makin
meresahkan.
Terlepas dari manfaatnya yang luar biasa, salah satunya dapat mempermudah
jalinan silaturahmi dan komunikasi dengan orangtua, kerabat, dan teman-teman. Terlebih
dengan kemunculan akses video call,
komunikasinya pun tampak nyata dan lebih menghadirkan kebahagiaan tersendiri.
Namun, di sisi lain orang-orang berpacaran (dan tidak mengenal batas norma) pun
makin mudah untuk mengumpulkan pundi-pundi dosa.
Mengerikannya, bahkan ada yang secara terang-terangan memanfaatkan video call sebagai ajang memamerkan dan
menjual diri. Menggadaikan tubuh untuk mendapatkan pundi-pundi materi. Melayani
kebuasan dengan kelembutan dan keindahan yang seharusnya disimpan dan tidak
dipertontonkan begitu saja.
Hal yang harus diingat, tubuh kita itu istimewa dan perempuan bukanlah objek melainkan "manusia".
Sebagai manusia, tak bisa kalau diri tidak bergerak dan pasti akan bergerak
di muka bumi Tuhan ini, pun bertemu banyak manusia lain. Tak dapat terbantahkan
jika suatu hari diri akan berjumpa dengan seseorang yang membuat diri menyemogakannya
agar ditakdirkan menjadi pendamping hidup.
Ketika ada kemudahan untuk saling mendekat, di situlah ujian keistikamahan
atas sikap untuk memilih tidak pacaran sedang diuji. Saya tahu persis bagaimana
menderitanya saat menahan perasaan itu. Rasa sesak di dada tak kunjung pulih, berat,
ngilu, bahkan makin hari makin parah jika rasa itu tak segera diungkapkan.
Ditambah lagi lingkungan hidup dengan orang yang disukai itu sama. Bertemu dan
berhadapan dengannya adalah ujian terberat yang pernah saya rasakan. Makin
bersosialisasi dengannya makin membuat jatuh hati dan merana.
Dalam kondisi seperti itu, salah satu hal yang bisa dilakukan hanya berdoa agar
diri diberikan kekuatan dan diselamatkan dari godaan sekaligus ujian.
Berdoa saja tentu tak cukup, diri pun harus tetap berusaha. Misalnya,
bersikap biasa saja atau normal dan senormal-normalnya di hadapan seseorang itu.
Jikalau tidak seperti itu, lama-kelamaan perasaan yang disembunyikan akan
terendus olehnya.
Hal itu sangat bahaya, menurutku. Apalagi jika seseorang itu juga memiliki
perasaan yang sama, sedangkan diri menyadari belum siap untuk hidup di jenjang
yang serius sekaligus sakral, pernikahan.
Jikalau pun memaksakan diri untuk siap, belum tentu ia siap. Selain itu,
belum lagi satu sama lain bisa jadi masih belum meyakini kalau dirinya mampu
menjadi pendamping hidup yang baik.
Rasa suka itu bisa muncul tiba-tiba dengan sendirinya. Entah karena apa.
Bisa jadi itu bisikan setan atau mungkin diri yang terlalu mudah mengagumi tapi
tidak sadar kalau itu hanyalah perasaan kagum lalu diterjemahkan menjadi cinta.
Salah tafsir.
Memang, sebaiknya dalam melakoni hidup ini diri harus pandai-pandai
membuang perasaan yang sia-sia, tidak penting, dan tidak layak untuk
ditempatkan di ruang istimewa di dalam diri.
Diri tak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang sebenarnya tak perlu
dikhawatirkan. Bila berjodoh pasti akan ada jalan dan dipermudah oleh Tuhan
untuk membangun ruang ibadah bersama-sama.
Kalau dipikir-pikir, memang akan lebih mudah jika laki-laki yang menyukai ketimbang
perempuan. Laki-laki bisa sesegera ke rumah pihak perempuan untuk melamar.
Sementara, di tengah budaya pada umumnya, perempuan tidak mungkin yang melamar,
kecuali perempuan itu mampu menempuh jalan seperti Siti Khadijah saat ingin
dinikahi Rasulullah.
Lantas, apa yang membuat kita –perempuan- mampu bertahan sendiri di
tengah-tengah ramainya orang-orang berpacaran? Yakin dan percaya saja kepada
janji Tuhan adalah jawaban pamungkas. Saya meyakini Tuhan memiliki caranya
sendiri untuk mempertemukan dengan jodoh di suatu hari nanti.
Ada banyak jalan kebaikan yang Tuhan tunjukkan untuk bersama dengan
seseorang yang dicintai dan mencintai. Lantas kenapa manusia harus menodainya
dengan beragam pembenaran? Ngilunya, lantas melukai diri sendiri.
Bukankah diri juga harus berpikir bertapa teganya kepada diri sendiri saat
menyerahkan diri kepada laki-laki untuk dimiliki dengan ikatan bahkan yang
sebenarnya tak mampu mengikat apa pun, pacaran. Percayalah, tak ada kepastian
dari status pacaran.
Tidak ada yang tahu pasti hubungan pacaran akan berlabuh di mana,
pernikahan atau perpisahan. Sementara dalam ruang pacaran ada banyak hal yang
dipertaruhkan. Bukan sebatas tentang waktu, tetapi juga perasaan. Kedua hal itu
tidak ada yang menjualnya.
Keyakinan adalah salah satu hal yang harus dibangun di dalam diri. Wajib. Termasuk
meyakini bahwa laki-laki yang ditakdirkan menjadi teman hidup akan datang
dengan cara yang terbaik menurut-Nya dan diri kita.
Ketika ingin pacaran, setidaknya berjuang untuk senantiasa mengingat diri
tentang keberkahan hidup. Sedari awal harus mampu berjuang menata niat, bahwa
berkat tidak pacaran diri akan dipersatukan oleh Tuhan dengan seseorang yang
benar-benar diri inginkan dan butuhkan untuk menjadi teman hidup di dunia
hingga akhirat kelak.
Secara personal, saya tak ada masalah dengan keputusan orang mau berpacaran
atau tidak atau bahkan yang sedang menjalani pacaran. Itu pilihan
masing-masing.
Meski dilarang, jika ingin melakukannya tetap akan melakukannya. Tak ada
hak saya untuk menghakimi mereka. Momen ini adalah momen berbagi pandangan.
Siapa tahu ada yang sedang berjuang move
on dari pacaran atau yang belum pernah pacaran dan butuh penguat agar
istikamah dengan keputusan yang diambil.
Semua menyadari, setiap tindakan atau pilihan pasti memiliki landasan atau
alasan. Orang yang memilih untuk tidak pacaran pun memiliki dasarnya, begitu
pula orang yang memilih pacaran. Hal yang harus diingat adalah apakah dasar
tersebut benar-benar dasar yang kuat atau sebatas asumsi untuk pembenaran.
Apa pun dasarnya, baik agama, logika, perasaan, atau yang lainnya, diri tak
memiliki hak untuk menghakimi siapa pun. Ingat, peran kita di dunia ini bukan
sebagai hakim. Namun, pemeran utama di dalam perjalanan hidup sendiri dan
hanyalah figuran di dalam hidup orang lain.
Selebihnya, bila ingin menasehati maka nasehatilah dengan baik. Jika tidak
tahu cara yang baik, diam adalah cara terbaik. Namun, diam-diam mendoakannya,
bukan sebatas diam saja.
Hampir semua dari kita menyadari bahwa setiap pilihan hidup memiliki
konsekuensi sebab-akibat. Apa pun itu, diri sendiri yang akan menanggung
rasanya masing-masing.
*
Terima kasih sudah membaca tulisan si fakir ilmu ini sampai akhir. Semoga tulisan saya ini berkah, aamin allahuma aamin.
Ditulis oleh Ayu Mulia. Lahir di Aceh. Saat ini sedang menempuh pendidikan
program profesi apoteker di Universitas Hasanuddin.